Hari demi hari dijalani Zarina sendirian tanpa kehadiran laki-laki tampan menyebalkan kembarannya itu.
Sudah tiga hari Zero terbaring lemah di atas ranjang dengan mata tertutupnya, kondisinya memang menunjukkan peningkatan namun belum ada tanda-tanda jika ia akan segera siuman. Dan sudah tiga hari Zarina setia menemani kembarannya di sana sampai ia merengek pada bundanya untuk tak berangkat sekolah, juga beberapa kali temannya, Gina maupun Leo datang menjenguk dan juga teman sekelasnya Zero.
“Ze, Bunda pulang ke rumah dulu ya mau beberes rumah sama sekalian ambil keperluan lainnya. Ze di sini sendiri nggak papa kan?” ucap bundanya ketika pagi di hari keempat mereka menemani Zero.
“Iya.. nggak papa Bun,” jawab Zarina sembari menatap bundanya lembut.
Ceklek!
Keduanya menoleh ke arah pintu ketika suara pintu terbuka, muncullah Leo juga diikuti dengan Niki. “Permisi Tante,” sapa Leo.
“Eh.. Nak Leo? Ayo masuk Nak,” sapa bunda ramah. Mereka pun menyalami bunda bergantian. “Kebetulan ada Nak Leo sama temannya, tolong temani Zarina ya.. Tante mau pulang sebentar,” ucap bunda.
“Iya Tante, dengan senang hati,” jawab Leo ramah.
Akhirnya sang bunda berpamitan dan tinggallah tiga orang itu berada di kamar inap Zero untuk menemaninya.
“Duduk Nik,” ucap Zarina ramah sembari mempersilahkan Niki untuk duduk di sofa. Niki pun mengangguk dan duduk bersebelahan dengan kembaran Zero itu.
“Gimana keadaan Zero?” Leo berdiri membelakangi mereka, menghadap ranjang Zero.
“Kondisinya udah membaik dan semakin baik tapi belom ada tanda-tanda kapan Zero siuman,” jawab Zarina menundukkan kepala.
Niki melirik gadis di sampingnya pilu, kemudian dielusnya punggung tangan gadis itu. “Sabar ya Zar, pasti Zero sembuh,” ucapnya lembut. Zarina segera menoleh menatap Niki dengan senyum.
Dua jam kemudian bertepatan dengan kedatangan bunda si kembar, Leo dan Niki berpamitan pulang. Zarina pun mengantar keduanya menuju halaman depan.
“Oh ya, gue tebus obat lo bentar ya Nik. Zar, temenin Niki bentar,” pamit Leo ketika ketiganya berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Niki pun mengangguk sebagai jawaban.
Zarina menatap kepergian Leo dengan tanda tanya dan melirik perempuan di sampingnya. “Tebus obat? Obat lo? Lo sakit?” tanyanya.
*
Kematian memang selalu menyiksa batin yang ditinggalkan, meninggalkan bekas luka yang sulit dihapuskan. Namun dengan kematian itulah cara Tuhan untuk menguatkan hati, mempercayai bahwa kuasa-Nya memang benar ada. Karena dengan kematian itulah kita tahu tentang menghargai hidup yang singkat ini dan dengan kematian kita tahu bagaimana cara Tuhan menyayangi umatnya.
“Ze.. Ze.. Ze..” Zarina menggeliat ketika mendengar suara itu, suara lirih dan lemah.
“Zeee...” ia pun akhirnya membuka kedua matanya, diliriknya jam yang menunjukkan pukul dua dini hari. “Ze..” kemudian pandangannya beralih menatap ranjang tempat tidur Zero.
“Zero?” lirihnya, ia pun segera mendekat ke ranjang itu. “Zero? Zero lo udah sadar?!” tanyanya antusias ketika kembarannya membuka kedua matanya.
“Bu—Bunda!” teriaknya berusaha membangunkan tidur sang bunda namun tangannya dipegang lembut oleh tangan Zero yang terpasang infus.
“Ze..” bisik Zero hampir tak terdengar.
“Iya Zero, ini gue. Kenapa? Lo kenapa? Ada yang sakit?” Zarina mendekatkan wajahnya dengan wajah kembarannya, senyumnya tak kunjung pudar dari bibirnya.
“Ze..”
Pip.. pip.. pip..
Zarina tersentak kaget ketika mesin yang menyambungkan selang-selang ke tubuh Zero berbunyi nyaring dan dengan waktu yang bersamaan Zero kesulitan bernapas dan kembali menutup matanya. “Za! Za bangun Za! Zero! Zero bangun gue bilang!”
“Zarina? Kenapa Nak? Kenapa?” bunda dan ayahnya yang sedang terlelap pun seketika terbangun ketika mendengar teriakkan putrinya.
Pip.. pip.. pip..
“Kenapa Kakak?!” sergap ayahnya ketika melihat mesin itu terus mengeluarkan suara. Beliau pun langsung memencet tombol panggilan darurat untuk memanggil tim medis.
Selang beberapa menit pun tim medis segera datang ke ruangan tersebut. Zarina yang terus berontak pun akhirnya dapat dipeluk bundanya dan mereka pun terpaksa harus keluar ruangan tersebut.
Zarina terus menyumpah serapahi dirinya, ia amat merasa bersalah. Kenapa ia tak langsung membangunkan orang tuanya? Kenapa ia tak langsung memanggil dokter? Kenapa? Kenapa?!
“Tadi Zero udah sadar Bun.. hiks.. hiks..” ucap Zarina kesekian kalinya.
“Iya.. nggak papa Nak.. nggak papa. Pasti Kakak baik-baik aja, nggak papa.” Sang bunda tak henti-hentinya berkata demikian ketika putrinya terus menyalahkan dirinya sendiri. Dielusnya puncak kepala Zarina lembut.
“Maafin Ze, maafin Ze,” gumam Zarina lagi.
“Nggak papa sayang, nggak papa.” Sang bunda pun semakin mengeratkan pelukannya dengan sang putri.
*
Baik banget kan gua nge next.. dipuji dikit ngapa😛😂😂
Okskaa okskaa.. alaynya kumat😑
Okelah.. selamat menikmati.. udah itu aja
KAMU SEDANG MEMBACA
MY TWIN [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSaudara kembar? Bagi seseorang yang mendengar itu pasti yang ada dibenak mereka, Keren! Wow! Seru! Tapi menurut gue? Nggak sama sekali! Karena gue saat ini merasakannya. Nama gue Zarina Putri Permata Adi dan gue punya kembaran, Zero Putra Pratama Ad...