Part 30

7.8K 312 22
                                        

“Gue seneng lo udah bisa pulang, gue seneng lo sembuh Za,” ucap Zarina ketika ia singgah sebentar di kamar kembarannya.

“Gue juga seneng Ze masih bisa liat elo yang cantik,” ucap Zero sembari menyelipkan anak rambut gadis di depannya ke belakang telinga.

Zarina memicingkan matanya. “Gombal anjir! Apaan sih lo!” ia mendorong sedikit tubuh kembarannya yang mendekat.

“Sstt..” dengan segera diletakkan telunjuk Zero tepat di depan bibir gadis itu lembut, kemudian ditatapnya wajah itu dalam. “Boleh ya sekali?” tanyanya. Perlahan diturunkannya telunjuk itu, matanya kembali meneliti wajah kembarannya dan berhenti di bibir merah Cherry dan detik itu juga cup, bibirnya menyentuh bibir merah Zarina sebentar.

Zarina yang tak percaya dengan tindakan kembarannya pun membulatkan matanya tak percaya, beberapa kali dikedipkan kedua matanya itu. “Za—”

Zero tersenyum melihat respons kembarannya. “Balik kamar gih, nanti dicariin Bunda,” potongnya lembut. Karena tak segera mendapat respons, ia pun menangkupkan kedua pipi gadis di depannya hingga bibir itu monyong. “Mau lagi hem?” baru saja ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Zarina, dengan segera gadis itu mendorongnya kesal.

“Ck, mesum lo!” umpat Zarina dan berlalu keluar kamar kembarannya.

Gue nggak tahu Ze perasaan apa ini, gue mati-matian buat menolak rasa yang sudah gue ciptain tapi semakin gue tolak semakin pula rasa ini tumbuh. Gue tahu ini salah, tapi bolehkan selagi lo belum milik orang lain?

Di satu sisi, Zarina berusaha mengontrol detak jantung juga deru napasnya. Setelah pergi dari kamar kembarannya, pikirannya tak henti-henti memikirkan sesuatu yang baru saja terjadi.

Perlahan disentuh bibirnya pelan, bayangan itu pun kembali melintas dan dengan segera digeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. Kembali ia mendengar detak jantungnya yang amat kencang. “Ah sial! Kenapa ini?!”

*

“Leo, gue perlu ngomong sama lo!” ucapan laki-laki itu membuat orang yang diajaknya berbicara mendongak.

“Mau apa lo?!” Leo bangkit dari duduknya dan bersihadap dengan laki-laki yang sudah hidup dengannya 17 tahun.

“Leo, ijin in gue ngobrol sama lo sebagai abang lo!” ucap laki-laki yang bernama Lean itu, abang Leo.

Leo berdecap membuang muka. “Lo mau ngingetin gue lagi kalo lo abang yang baik dan bertanggung jawab? Nggak guna asal lo tahu!” ia menunjuk wajah Lean menusuk.

Gadis yang sedari tadi bersama Leo pun angkat bicara, ia harus ikut andil dalam permasalahan kakak beradik itu. “Leo, udah kenapa sih.. berhenti ya, lo harus dengerin apa kata Bang Lean!”

“Nik, lo jangan bela dia deh! Lo lupa sama apa yang udah dia lakuin sama kita? Memfitnah sesuatu yang harusnya nggak dia ucapin buat elo!” geram Leo menatap Niki tajam.

“Gue minta maaf,” potong Lean cepat.

Leo dan Niki pun menatap Lean dan saling berpandangan. “Makan semua kata maaf yang mau lo utarakan ke gue karena itu nggak ada gunanya! Ngerti lo?!” bentak Leo membabi buta.

“Leo.. Leo berhenti gue bilang! Abang lo mau minta maaf, tolong biarin dia ngomong!” teriak Niki tak kalah kencang.

“Persetan sama itu semua Nik! Gue udah kehabisan stok buat maafin orang bejat kayak dia!” setelah mengucapkan itu, Leo berlalu dari tempatnya.

“Tapi lo nggak pernah tahu seberapa besarnya gue mati-matian buat beraniin diri bilang gini ke elo!” teriakkan Lean membuat langkah Leo berhenti. “Gue minta maaf sama kalian terutama sama elo Leo, gue emang bukan abang yang baik buat lo bahkan gue nggak pantes jadi abang karena emang gue bejat! Gue nggak pernah tahu apa yang dirasa dan diharapkan adeknya! Gue emang egois Le! Bahkan gue nggak pernah tahu apa-apa tentang elo, justru orang lain lebih tahu tentang siapa elo! Gue emang nggak akan pernah pantas untuk hidup Leo!” ucapan Lean semakin lama semakin pelan dan terdesak oleh napas yang memburu. Tubuh laki-laki itu sudah lunglai ke atas rumput hijau, membiarkan celana kantornya basah dan kotor.

“Bang, udah Bang cukup! Udah nggak papa.” Niki berusaha menahan tubuh laki-laki itu agar tidak benar-benar terjatuh ke tanah.

“Maafin gue Niki, gue nggak pernah tahu apa yang terjadi tentang elo, yang gue tahu cuman tindakan elo yang seakan-akan nggak peduli sama hidup lo. Gue minta maaf nggak pernah tahu apa-apa tentang kalian,” ucap Lean menatap Niki sayu.

“Bang Lean nggak pernah salah, mungkin memang sebagian orang menyimpan sakitnya sendiri dengan bertindak bodoh, tapi aku ataupun Leo sadar untuk saling sharing apa pun masalah yang kita hadapi dan bukan malah merugikan banyak pihak,” ucap Niki berusaha meyakinkan Lean juga dirinya sendiri.

“Cukup Niki!” bentak Leo keras. Ia melangkah menuju dua orang itu. “Berhenti buat bilang apa yang seharusnya elo nggak bisa bilang! Gue nggak mau lo kenapa-napa lagi!”

Niki menengadahkan kepalanya menatap Leo yang berdiri di depannya. “Yuk, Bang bangun!” ucapnya sembari membantu Lean berdiri.

“Leo, gue—”

“Nggak perlu! Gue tahu lo mau bilang apa, justru seharusnya gue yang bilang gitu ke elo. Gue nggak pantes jadi adek lo Le, gue terlalu hancur sedangkan elo anak kebanggaan bokap,” ucap Leo cepat.

“Lo juga bisa jadi kebanggaan bokap Le, gue bakal bantu elo tapi ijin in gue buat mulai jadi abang yang bisa ngertiin adeknya. Ya?” Lean dan Leo pun saling menatap dan detik itu juga keduanya saling merangkul dan berpelukan.

Cuman satu mimpi gue, bukan jadi anak kebanggaan bokap tapi jadi adik yang bangga punya kakak kayak elo, Lean.

*

Lohaaa.. datang kembaliii

Masih ada yang nunggu gak ya? Setia buat nunggu yakkk

Btw, menurut kalian ceritanya semakin runyam, bertele tele, atau semakin gaje siiii...

Komen ya kalo cinta cerita ini, kalo cinta authornya juga boleh kok😁😁😂😂

MY TWIN [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang