“Jadi lo kepo? Serius? Masa?” Zarina menggoda temannya itu hingga membuatnya kembali jengkel.
“Ck, apaan? Bikin anak orang kepo dosa tahu!”
Zarina cengengesan mendengar penuturan Gina, ia berdehem sebentar. “Jadi gini.. sebenarnya—”
Drrt.. drrt.. drrt..
Kalimatnya terhenti ketika ponsel yang diletakkan di meja bergetar. “Eh.. bentar ya,” ucap Zarina menatap layar ponselnya.
“Siapa? Tunangan lo?” Gina melirik sekilas ponsel temannya yang duduk di sebelahnya itu.
“Nggak ada namanya.”
“Angkat! Kalik aja penting.” Zarina pun menuruti perintah Gina. Diangkatnya telepon tanpa nama itu.
“Ha—” sapaan teleponnya terpotong ketika seseorang di seberang sana sudah lebih dulu berbicara.
Wajah Zarina seketika memucat, alisnya beberapa kali berkerut, bibirnya seketika keluh.
“Zar? Kenapa?” Gina menggoyang-goyangkan lengan Zarina pelan. Ia merasa ada yang tidak beres dengan temannya itu.
Dan di menit berikutnya setetes air mata menetes begitu saja dari pelupuk gadis yang tengah menerima telepon itu. Diletakkannya ponsel yang sudah menampilkan panggilan terputus.
“Zar, lo kenapa?!” Gina kembali mengguncang-guncangkan lengan juga bahu Zarina bahkan suaranya sudah bergetar.
Pandangan Zarina yang semula kosong itu pun beralih menatap perempuan berkacamata di depannya. “Ze—Zero... Zero, Gin,” lirihnya, bahkan amat lirih dan serak.
“Ze—Zero? Zero lo kenapa?”
*
Kedua perempuan berbalut seragam putih abu-abu itu pun terus berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah salah satu dari mereka menanyakan ruangan pada resepsionis. Tak henti-hentinya Zarina terus berdoa semoga tak terjadi hal yang buruk pada kembarannya, air matanya pun juga tak kunjung reda.
Setelah berlarian cukup jauh, mereka pun menemukan ruangan tersebut, Edelweis Room, juga bersamaan dilihatnya Leo tengah duduk di kursi koridor rumah sakit dengan kepala menunduk.“Leo, Zero di mana?” lirih Zarina dengan suara seraknya.
Leo yang mendengar itu pun segera mendongakkan kepalanya. Dilihatnya di depannya kini gadis cantik itu sudah kusut dan kacau. Ia pun berdiri tepat di depan Zarina. “Masih ditangani dokter.”
Mendengar penuturan itu pun Zarina kesulitan menelan salivanya, tubuhnya kembali bergetar bahkan ia sulit bernapas.
“Zar...” Gina yang setia berada di samping temannya itu pun mengelus kedua lengan Zarina lembut dan saat itu juga tubuh lemah itu pun lunglai. “Zar?! Zarina?!” Gina dan Leo pun berusaha memapah Zarina dan mendudukkan tubuhnya di kursi.“Zero.. Zero..” gumam Zarina dengan pandangan mata yang kosong.
“Yang sabar ya Zar, kita banyak berdoa aja,” ucap Gina menenangkan.
Hingga satu jam berselang pintu yang menangani Zero pun belum juga dibuka bahkan sampai kedua orang tua si kembar datang dengan perasaan yang amat cemas dan khawatir. Namun Zarina sama sekali tak dapat menjelaskan apa pun karena memang ia belum tahu bagaimana kronologis kejadian yang di mana membuat kembarannya terbaring di rumah sakit, maka Leo lah yang menjelaskan dan lagi-lagi pendengaran Zarina tak dapat mendengar penuturan teman sekelasnya itu. Pandangannya kembali kosong dan pikirannya hanya berkelana pada satu nama, Zero.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY TWIN [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSaudara kembar? Bagi seseorang yang mendengar itu pasti yang ada dibenak mereka, Keren! Wow! Seru! Tapi menurut gue? Nggak sama sekali! Karena gue saat ini merasakannya. Nama gue Zarina Putri Permata Adi dan gue punya kembaran, Zero Putra Pratama Ad...