Satu jam pun berlalu, tim medis keluar dari ruangan tersebut. Ketiga orang yang sedari tadi menunggu pun langsung berhamburan ke arahnya. “Gimana Zero Dok?” tanya ayah.
“Syukurlah Zero tidak apa-apa, dia hanya syok ketika sudah siuman tadi.” Jawaban dokter membuat ketiganya menghela napas lega.
“Zero udah sadar berarti Dok?” tanya Zarina tak sabaran.
Sang dokter pun mengangguk sembari tersenyum. “Iya, silakan jika ingin menemui tapi jangan tanyakan hal-hal berat dulu,” ucap beliau.
“Zero? Zero!” Zarina pun segera berhambur ke pelukan Zero dengan hati yang berbunga-bunga. “Zero, lo baik-baik aja kan? Iya kan?”
“Alhamdulillah Kakak udah siuman,” ucap bunda tersenyum.
“A—aus,” ucap Zero terbata-bata.
“Ah.. iya minum Bun!” ucap Zarina, bundanya pun segera memberikan segelas air dengan sedotan. “Pelan-pelan ya Za.” Dengan amat telaten Zarina memberikan minum tersebut.
Ayah dan bundanya pun tersenyum, mereka saling merangkul melihat pemandangan indah di depannya.
*
“Tunangan lo udah siuman?” tanya Gina ketika baru saja Zarina menceritakan rasa bahagianya.
“Iyap! Padahal gue pengen nggak berangkat hari ini tapi nggak diizini sama Bunda,” jawab Zarina dengan akhir yang tak bersemangat.
“Ye.. bolos mulu kesenengan lo!” Gina menyenggol lengan temannya itu. “Eh iya.. btw itu bundanya siapa? Bunda lo apa bunda Zero sih? Gue tuh bingung mikirin dari kemaren,” celetuknya.
Zarina cengengesan ketika mengingat teman semejanya itu belum tahu siapa Zero. “Bunda gue sama Zerolah, gimana sih lo!” ia menjitak kepala Gina gemas.
“Ish! Sakit Zar. Elo mah mentang-mentang tunangan sombong nganggep emaknya Zero emak lo juga!”
“Gin, Zero itu bukan tunangan gue,” celetuk Zarina.
“Terus?”
“Coba tebak!”
Gina mendecap mendengar ucapan temannya itu. “Gue lagi males mikir.” Diletakkan kepalanya di antara tangan yang melipat di atas meja.
“Dih, songong!”
“Kemaren ulangan b.indo Zar, gue remedial,” gumam Gina akhirnya.
“Lah.. Bahasa Indonesia aja masa remidi lo! Bahasa sehari-hari juga, orang pinter gitu kalik ya?”
*
Sore sepulang sekolah adalah hal yang dinanti-nanti Zarina karena ia sangat tidak sabar untuk bertemu dengan kembarannya.
Sesampainya ia di rumah sakit pun rasa bahagianya semakin memuncak kala sanak saudara datang menjenguk Zero, mulai dari oma opa, adik juga kakak ayah dan bunda, serta sepupu juga keponakan keduanya. Hingga hari semakin sore mereka pun satu persatu berpamitan pulang.
“Za, gue bawa sesuatu buat lo,” ucap Zarina ketika tinggal mereka berdua di ruangan tersebut.
“Apaan?” jawab Zero yang sibuk mengutak-atik ponselnya.
“Ish! Mainan Hp mulu sih lo, dengerin gue kek!” gerutu gadis itu kesal.
Zero melirik kembarannya dengan senyum jahilnya. “Ze, ini Hp siapa?” tanyanya sembari memainkan ponsel yang sedari tadi ditangannya berputar-putar.
“Heh? Hp lo kan?” Zarina melirik ponsel ditangan kembarannya. “Eh.. baru!” diserobotnya ponsel itu dengan kilat. “Loh kok wallpaper-nya foto Leo sama Niki?” ia melirik Zero tak paham.
“Kenapa Hp Leo bisa ada di sini?” tanya Zero menyelidik.
“Hp Leo? Iya ya, kenapa coba?” ditopangnya dagu dengan tangannya, berpikir.
Pletak!
“Aw! Lo ya lagi sakit masih aja jitak gue!” sungut Zarina sembari memegang kepalanya yang menjadi korban jitakan kembarannya.
“Lo tuh bego kok dipelihara sih! Maksud gue tanya kenapa Hp Leo bisa di sini tuh kapan dia kesini?!” geram Zero.
Seketika senyum pepsodent gadis itu pun merekah dan detik itu juga dipeluknya tubuh laki-laki itu. “Zero.. gue kangen lo bilang gue bego dan gue seneng akhirnya gue masih bisa denger lo bilang gitu ke gue,” ucapnya terus memeluk tubuh Zero di atas ranjang itu.
Zero tersenyum miring. “Jadi selama gue koma elo takut gue mati ya? Hm.. harusnya kemaren pas gue ketemu malaikat pencabut nyawa gue minta mati aja saat itu juga.” Mendengar penuturan Zero membuat Zarina melepaskan pelukannya, ditatapnya wajah sok melas itu tajam.
“Kok nyebelin banget sih! Lo bener-bener milih mati? Heh?!” geram Zarina dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Zero kembali tersenyum, diayunkan tangan yang terpasang infus itu hingga menyentuh puncak kepala gadis itu. “Gue seneng ternyata elo khawatir sama gue, gue seneng ternyata kembaran gue sayang sama gue.” Diusapnya lembut puncak kepala Zarina lembut.
Seketika Zarina pun luluh, dipegangnya tangan Zero yang menyentuh kepalanya kemudian diturunkannya tangan itu. “Za, lo tahu kan gue benci sama lo nggak bener-bener benci sama lo? Lo emang nyebelin tapi selamanya lo kembaran gue.”
“Gue tahu, gue tahu lo sayang dan cinta sama gue. Gue tahu Zarina dan gue pun juga gitu sama lo,” ucap Zero lembut.
Detik itu juga dipeluknya Zero kembali. “Jangan pernah tinggalin gue, Zero,” bisiknya. Zero pun mengangguk pelan sembari mengusap puncak kepala kembarannya.
Gue sayang elo, gue cinta sama elo, Zarina. Tapi bisakah lebih dari saudara kembar?
*
Yuhu... balik lagi nih.. cepet yak perasaan di nextnya..😂😂
Okskaa.. respon.. komen.. apa kek terserahlah.. sebahagia kalian😥😥

KAMU SEDANG MEMBACA
MY TWIN [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSaudara kembar? Bagi seseorang yang mendengar itu pasti yang ada dibenak mereka, Keren! Wow! Seru! Tapi menurut gue? Nggak sama sekali! Karena gue saat ini merasakannya. Nama gue Zarina Putri Permata Adi dan gue punya kembaran, Zero Putra Pratama Ad...