Laksita bertekad akan membawakan sesuatu yang berbeda di panggung peringatan setahun wafatnya Sitor Situmorang nanti. Ia dan bandnya akan memusikalisasi salah satu puisi Sitor Situmorang dengan genre alternatif rock atau britrock a la Radiohead atau Morrissey. Ia bosan dan muak dengan musikalisasi puisi yang kebanyakan selalu dibawakan dengan genre balada kontemporer. Ia tidak benci musik balada ataupun kontemporer. Ia hanya heran, kenapa musikalisasi puisi selalu identik dengan genre seperti itu. Sejak jauh-jauh hari ia telah mempersiapkan segalanya dengan penuh semangat, apalagi Sitor Situmorang adalah salah satu penyair favoritnya. Di dalam bandnya yang terdiri dari teman-temannya, Renita, Gianti, dan Utari, Laksita adalah leader-nya, merangkap gitaris dan vokalis. Setiap lagu yang selalu mereka bawakan adalah ciptaannya.
Akan tetapi siang itu ia nampak tidak bersemangat ketika latihan bersama teman-temannya di sebuah studio musik rental. Suaranya hampir setiap saat melenceng dari kord-kord gitar yang dimainkannya.
"Tunggu, berhenti, berhenti semuanya," ujar Renita sang bassis, lalu mendekati Laksita. Seakan dapat membaca pikiran Renita, Laksita menundukkan kepalanya. "Lu kenapa, sih, Ta? Dari tadi suara lu enggak masuk-masuk."
Laksita terdiam dengan kepala yang masih tertunduk, lalu memandang Renita. "Ren, latihannya ditunda dulu, ya. Kayaknya gua lagi sakit, nih. Demam."
"Sakit?" kata Renita kemudian memegang kening Laksita. "Ah, perasaan jidat lu adem-adem aja. Ta, acaranya, kan, lusa. Supaya mateng, latihan kali ini kudu rada digeber."
"Ya, bener, Ta. Lu kenapa, sih?" timpal Gianti yang masih berdiri di dekat keyboard.
"Hmmm, biar gua tebak. Ini ada hubungannya sama Himawan, kan, Ta?" ujar Gianti sambil menyipitkan mata dan mencondongkan wajahnya ke wajah Laksita. Laksita seketika menundukkan kepalanya kembali. Ia tidak tahan dengan "tatapan-pembuka-rahasia" Gianti. Di kepalanya berkecamuk soal kejadian di kafe bersama Himawan tempo hari dan kata-kata dari ibunya.
"Diem berarti bener," kata Gianti, "Ta, kan, udah gua bilang, jangan deket-deket sama mahluk yang namanya Himawan. Elumah ngeyel, sih, orangnya."
Kata-kata Gianti menyengat Laksita. Ia tidak suka jika teman-temannya membicarakan kejelekan pujaan hatinya. Lagipula ini bukan soal Himawan, ini soal Airlangga. Airlangga yang dianggapnya telah meruntuhkan martabatnya di hadapan Himawan. Dipandangnya Renita dengan tajam. "Ren, gua cabut duluan. Kalian latihan aja tanpa gua."
Tapi, Ta..." belum sempat Renita melanjutkan kalimatnya, Laksita merenggut tas ransel dan sebuah kamera SLR miliknya yang tergeletak di depan kickdrum. Laksita memang ikut di redaksi majalah kampusnya, malam nanti ia akan meliput konser salah satu band indie Bandung di sebuah klab malam. Utari yang duduk di kursi drum tertegun memandangnya. Dengan langkah yang tergesa-gesa, Laksita lalu membuka pintu studio dan meloyor pergi. Di dalam benaknya hanya ada satu tempat kini yang hendak ditujunya: kafe tempat Himawan bekerja.
***
Mencari ide cerita bagi Airlangga adalah sama susahnya dengan mencoba mengingat sesuatu yang belum pernah ia lihat. Susah dan mustahil, begitulah yang dirasakannya belakangan ini. Pagi tadi seperti biasa, setelah bangun tidur dan mandi, ia duduk di depan layar laptopnya. Seperti biasa pula, sebelum menyalakan laptopnya, ia akan memutar musik dan merokok sambil sesekali menyeruput secangkir kopi. Itulah ritual yang biasa dilakukannya sebelum menulis demi memancing ide. Akan tetapi ternyata ritual tersebut hanya berlaku untuk puisi dan cerita pendek, tidak untuk novel. Sejak tadi pagi ia melaksanakan semua ritualnya, ide cerita itu tidak kunjung mengetuk benaknya. Satu halaman di layar laptopnya tetap putih, bersih. Jika sudah begitu, ia biasanya bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di kamarnya, seolah-olah dengan melakukan itu, gerigi-gerigi mekanik di otaknya yang macet akan berputar. Tadi pagipun ia melakukannya, meski tetap saja sia-sia. Ujung-ujungnya ia malah merebahkan diri di kasurnya dengan tubuh yang melengkung, seperti sedang menahan sakit, seolah-olah ia adalah seorang musafir yang sekarat kehausan di padang pasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
RomanceIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...