30. Hanya Ada Cinta

521 27 0
                                    

"Laksita, tunggu!"

Perempuan itu bergeming dan terus berjalan terbungkuk-bungkuk. Seruan Airlangga dari luar gerbang kafe terdengar bernas dan keras di Jalan Hegarmanah yang sepi itu. Ia membungkuk kelelahan dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke tempurung lututnya. Laksita berada tidak jauh darinya, berjalan tergesa-gesa menyisir keteduhan trotoar. Airlangga tidak khawatir. Jalan Hegarmanah adalah jalan yang tidak dilalui angkutan umum, jadi sejauh apapun perempuan itu pergi, ia masih dapat mengejarnya. Setelah sebelumnya menyeka keringat yang membasah di keningnya, Airlangga kembali memacu langkahnya dengan napas yang masih tersendat-sendat, mengejar Laksita yang kini hanya seukuran kelingkingnya jauh di depan.

"Laksita, berhenti, saya mohon," ujar Airlangga lirih saat ia hanya tinggal beberapa langkah di belakang Laksita. Suaranya agak sayup ditelan bunyi motor yang lewat. Perempuan itu tidak menoleh dan tetap teguh melangkah dengan tergesa-gesa. Airlangga mempercepat langkahnya dan menggenggam lengan Laksita.

"Laksita, tolong berhenti, Laksita..." Airlangga memelas dan menghentikan langkahnya. Sejenak hanya ada kesunyian di antara mereka, ditingkahi desir angin yang meniup kerimbunan pohon ketapang yang menaungi mereka. Tepat saat terdengar bunyi 'krak' dari sebatang ranting pohon ketapang yang patah dipukul angin, Laksita membalikkan tubuhnya. Kini Airlangga dapat melihat pipi Laksita yang sembap. Perempuan itu menangis sepanjang perjalanan tadi, dan hatinya merasa teriris saat melihat ini, lebih-lebih saat perempuan itu menatapnya dengan sorot mata tajam yang penuh amarah.

"Laksita, ada yang mau saya bicarakan. Ini mungkin enggak penting buat kamu, tapi ini penting buat saya. Please, kasih saya waktu," Airlangga berujar dengan suara yang bergetar, setelah sebelumnya ia merasakan kekakuan di lidahnya.

"Saya enggak peduli itu penting buat kamu," ujar Laksita dengan air mata yang semakin berderai dan rahang yang menegang, "Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kita sebaiknya enggak usah bertemu lagi?"

"Tapi, Ta, kamu enggak pernah tahu alasannya kenapa saya ngomong begitu. Justru saya mau menjelaskan semuanya, Ta, semuanya. Oke, Ta, kalau kamu merasa ini enggak penting buat kamu. Tapi seenggaknya kasih saya waktu, Ta, please. Kalau setelah ini kamu mau membenci saya setengah mati, silakan, tapi, Ta, saya enggak mau terus dihantui rasa bersalah," Airlangga berkata dengan tegas tapi memelas.

"Pergilah, Ga, saya benci kamu. Kamu benar, sebaiknya kita enggak usah bertemu lagi..." ujar Laksita parau. Perempuan itu lalu membalikkan tubuhnya dan kembali melangkah. Airlangga tidak mau menyerah. Dikejarnya Laksita dan kembali digamit dan digenggamnya lengan perempuan itu. Laksita kembali membalikkan tubuhnya.

"Laksita, please...," bisik Airlangga.

"Apa lagi, Ga? Apa lagi?" kali ini tangis Laksita semakin menghebat. Airlangga segera menggenggam bahu Laksita dengan kedua tangannya, membiarkan kening perempuan itu menempel di dadanya. Ia dapat merasakan kening perempuan itu bergetar hebat oleh tangisan. Dipandangnya jam tangannya dengan dahi yang mengernyit.

"Oke, Ta. Sekarang tenanglah dulu. Masih ada waktu sebelum acara launching buku saya dimulai. Saya akan memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya, untuk menjelaskan semuanya," kata Airlangga lembut dengan mata tertuju kepada satu dari sekian banyak bangku dari besi yang berada di trotoar, "Ngobrolnya sambil duduk, yuk, Ta."

Laksita tidak menjawab dan tidak pula menganggukkan kepalanya yang tertunduk. Senggukkan masih terdengar dari tenggorokannya saat Airlangga membimbingnya ke bangku besi di bawah keteduhan pohon ketapang dan membantunya duduk di sana, disusul lelaki itu yang ikut duduk di sampingnya. Sebentar sunyi. Airlangga lalu menarik napas panjang dan mulai memberanikan diri untuk berbicara. Dengan lembut dan rapi ia menceritakan semuanya, soal dirinya, soal Kirani.

Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang