Epilog

869 37 13
                                    

Lima tahun kemudian ...

Tidak jauh dari kursi tempat Airlangga duduk, pada sebuah panggung kecil di bawah rimbun pohon di antara semak-semak bunga, bersama bandnya Laksita menyanyikan sebuah lagu ciptaannya. Dialihkannya pandangannya kepada perempuan itu, dan mereka saling bertukar senyuman. Wrap dress putih selutut dan sneakers yang dipakai Laksita memberi kesan anggun, elegan, dan kekanak-kanakan. Kali ini tidak ada pensil di rambutnya. Rambut panjangnya dikepang dengan model waterfall. Rambut itu sesekali bergerak lembut tertiup angin, dan permukaan gitar yang berada di pangkuannya memantulkan cahaya matahari sore yang hangat. Model kepangan rambut Laksita ditambah wrap dress yang dipakainya membuat perempuan itu terlihat seperti sesosok peri di mata Airlangga. Sesosok peri yang memakai sneakers, gumam Airlangga di dalam hati sambil tersenyum geli. Ada noda kecil bekas es krim coklat di bawah sudut bibir Laksita yang dipulas lipstik berwarna beige, lipstik yang kali ini ia beli sendiri. Airlangga tersenyum membayangkan perempuan itu yang tadi sebelum tampil melahap dua porsi banana split dengan rakusnya.

"Rakus amat kamu, Ta. Nanti bayinya pilek, lho," ujar Airlangga tadi, saat menyaksikan Laksita yang menyuapkan sesendok penuh es krim vanila ke mulutnya. Sejenak dipandangnya perut Laksita.

"Pisang sama es krim itu sehat, Ga, bagus buat Gatot. Nanti saya minum obat flu, deh, supaya dia sembuh," timpal Laksita cuek. Airlangga hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang mesra. Sudah satu bulan lebih calon bayi itu terkandung di perut Laksita, dan selama itu pula perempuan itu selalu memanggil calon bayi itu dengan sebutan Gatotkaca. Laksita memang sangat terobsesi memiliki anak lelaki.

Dengan isyarat dari gerakkan tangannya, Airlangga memberitahu Laksita soal noda es krim itu, supaya ia menyekanya. Perempuan itu mengernyitkan dahinya, dan beberapa saat kemudian ia mengangguk malu-malu, lantas segera menghapus noda itu dengan ujung telunjuknya. Di tengah alunan musik akustik yang syahdu, Airlangga menyapukan pandangan kepada para tamu yang berada di depannya.

Lima tahun yang lalu Airlangga telah menyelesaikan novel pertamanya. Pihak penerbit memintanya untuk membuat novel lagi segera setelah novel pertama Airlangga meraih kesuksesan yang besar. Bahkan sebuah rumah produksi menyatakan bahwa mereka tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah film. Begitulah seterusnya, Airlangga terus menulis, dan hari itu adalah peluncuran novel Airlangga yang ketiga. Peluncuran itu sendiri diadakan di kafe tempat ia meluncurkan novel pertamanya, tempat yang baginya bersejarah dan memiliki arti penting. Peluncuran novelnya yang keduapun ia laksanakan di kafe tersebut.

Airlangga menolehkan kepalanya lagi kepada Laksita dan menelusuri perempuan itu dari atas sampai ke bawah, hingga matanya mencapai sebuah cincin yang melingkar di jari perempuan itu. Cincin pemberian darinya. Ia terdiam dan tersenyum penuh haru. Hatinya terasa ringan, terbang, bagai seekor Laksita Asparagus yang terbang dan hinggap di cincin itu. Batu cincin itu sendiri terbuat dari emas yang didesain atas permintaan Airlangga supaya berbentuk serangga Laksita Asparagus, serangga kesayangan Laksita, serangga kesayangannya...

Musik terus mengalun, mengiringi suara Laksita yang merdu, seraya matahari yang menumpahkan sapuan warna keemasan di langit.


Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang