2017 ...
Ada sebentuk perasaan ganjil yang menyayat-nyayat hati Laksita saat berdiri di sana. Inilah kali pertama kedatangannya kembali ke toko buku itu setelah kali terakhir ia mengunjunginya, saat ia pertama kali bertemu dengan Airlangga. Dan kini ia berdiri tepat di hadapan rak buku-buku sastra, tempat di mana dulu ia bertengkar mulut dengan lelaki itu. Kedatangannya ke toko buku itu sebetulnya bukanlah untuk membeli buku, tapi untuk membeli satu set pensil khusus sketsa. Entah mengapa, tiba-tiba saja sesuatu menggerakkan tubuhnya untuk beringsut ke sana. Ya, dulu di depan rak buku itu ia pernah begitu marah kepada Airlangga, tapi kini justru kejadian tersebut menjelma sebuah kenangan yang indah sekaligus menyayati hatinya. Diusapinya pinggiran rak itu dengan perasaan sendu yang memurungkan wajahnya. Laksita tidak tahan lagi. Ia sudah bertekad untuk melupakan Airlangga. Kenangan itu begitu membekaskan luka yang dalam di hatinya, bagai cangkul yang memugar kembali sesuatu yang sudah sembilan bulan dikuburnya dengan susah payah. Ia segera berbalik dan pergi dari sana.
Segera setelah melakukan transaksi pembayaran di kasir, Laksita bergegas pergi dari sana. Langkahnya cepat-cepat, seakan-akan kenangan tentang pertemuan pertama dengan Airlangga sedang mengejarnya. Tepat saat ia melangkah menembus pintu masuk toko, tubuhnya oleng dan jatuh terduduk akibat bertubrukkan dengan seseorang yang hendak masuk. Seorang penjaga tempat penitipan tas segara bersijingkat menghampirinya dan memandunya berdiri, disusul orang yang menubruknya.
"Maaf, Mbak, barusan saya meleng," kata orang yang menubruk Laksita. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.
"Eh, Mbak yang dulu berantem ngerebutin buku sama cowok, kan?" orang itu kembali berkata dengan dahi yang mengernyit. Laksita termenung dan memandangi orang itu sambil membungkuk dan memijit-mijit lututnya. Ia ingat, orang itu adalah penjaga toko buku yang dulu melerainya saat bertengkar dengan Airlangga. Kenangan tentang Airlangga kembali menguat di hatinya. Laksita tidak tahan lagi. Ia hanya membalas perkataan orang itu dengan anggukkan lemah dan bergegas pergi. Penjaga toko buku dan penjaga tempat penitipan tas itu hanya bisa memandang Laksita di kejauhan dengan heran.
***
Menjelang tengah malam, Airlangga memandangi layar laptopnya dengan hati yang mekar oleh rasa bangga sekaligus rasa tidak percaya. Ia baru saja mengetikkan kata terakhir dari novelnya. Empat bulan draft pertama dari novelnya beres dan lima bulan ia mengeditnya, menambalnya di sana-sini, dan membuang bagian-bagian yang dirasanya tidak perlu dan hanya memperlambat laju cerita. Ya, hanya butuh waktu sembilan bulan baginya untuk menyelesaikan novel tersebut. Airlangga tersenyum sambil memikirkan Laksita. Ia sadar betul bahwa tanpa Laksita, novelnya tidak akan pernah jadi. Ia ingat dulu salah satu hal yang sering menghambatnya saat akan memulai menulis novelnya adalah smartphone-nya. Benda itu selalu mengalihkan fokusnya, apalagi jika sudah dipakainya untuk mengintip akun-akun media sosial Kirani atau membuka-buka internet. Kini ada sebersit rasa syukur bahwa dulu smartphone-nya itu dirampas begal, dan itu terjadi karena Laksita, selalu Laksita. Laksitalah dinamo pikirannya. Airlangga sadar kini betapa berartinya kehadiran perempuan itu dalam kehidupannya, dan saat menyadari ini, rasa bencinya kepada Kirani semakin mengerucut. Malam itu, Kirani telah berada di puncak kebencian Airlangga.
Apa kabar kamu, Laksita? Hati Airlangga bergumam lirih. Ia kesal, kenapa saat-saat melupakan Kirani ini datang terlambat. Ya, ia tahu semuanya sudah terlambat. Ia sadar bahwa Laksita pasti sedang berusaha melupakannya kini, di saat ia sadar bahwa Laksita adalah perempuan yang tidak akan pernah bisa tergantikan. Tidak akan pernah. Perempuan itu telah mendapat tempat tersendiri di hatinya.
Malam terus merangkak pelan, menggeser jarum jam weker di atas meja menuju angka dua belas. Airlangga mendengus dan memandang layar laptopnya dengan murung. Besok, ia akan mengirim novel itu ke salah satu penerbit. Sembilan bulan yang dilaluinya untuk bersusahpayah menulis novel itu dirasanya bagai sembilan bulan waktu yang dibutuhkan sejabang bayi untuk keluar dari rahim ibunya. Ya, Laksitalah rahim dari novelnya. Tanpa Laksita, ia merasa pencapaiannya dalam membereskan novel ini menjadi kurang berarti, novel itu menjadi seperti bayi yang ditinggalkan oleh ibunya...
_______________________________________________________________________________
Keterangan:
Judul bab ini diambil dari judul salah satu cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma.
![](https://img.wattpad.com/cover/125372386-288-k730356.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
Roman d'amourIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...