16. Bulan yang Menempel di Jendela

298 18 0
                                    

Kafe sepi. Hanya ada tiga orang pengunjung sore itu. Airlangga duduk sambil iseng-iseng mengelap meja dengan selembar tisyu, sementara Himawan duduk di hadapannya, memandang wajah Airlangga yang seharian itu nampak lebih murung daripada biasanya. Dipandangnya meja yang sebetulnya nampak sudah bersih dan mengilap itu, tapi Airlangga tetap saja sibuk mengelapnya, seolah-olah ia sedang membuang-buang waktu lantaran malas bercakap-cakap dengannya, dan menunggunya pergi.

"Yaelah, meja udah segitu bersihnya masih elu gosokkin aja. Ga, elu kenapa, sih?" tanya Himawan, dan ia mendengus ketika mendapati bahwa pertanyaannya tidak dihiraukan oleh Airlangga.

"Masalah Laksita, ya? Eh, gua penasaran, Ga, status elu sama Laksita gimana, sih? Elu udah nembak dia belum, sih?" Himawan kembali berbicara, dan Airlangga tidak menjawab, ia hanya memandang Himawan sebentar dengan tatapan murung yang sayu seraya desahan pelan dari mulutnya.

"Elu dari dulu emang gitu sih orangnya, Ga, ribet, penuh dengan pertimbangan, apalagi kalau urusan cewek. Eh, gua kasih tahu ya, Laksita itu banyak yang mau, kalau elu masih ngegantungin dia karena elu masih nungguin Kirani, nanti Laksita keburu diembat orang. Atau Laksita buat gua aja?" Himawan kembali menyerocos, mencoba memancing Airlangga sembari diamatinya wajah sahabatnya itu. Himawan tahu, jika Airlangga tidak berbicara, maka raut wajahnyalah yang akan berbicara. Telah lama ia bersahabat dengan Airlangga, dan ia telah mahir membaca bahasa dari raut wajah sahabatnya itu. Dan ternyata benar, sebab Airlangga sontak berhenti mengelap meja dan melemparkan pandangan tajam kepada Himawan.

"Kenapa elu, Ga? Marah? Kalau emang elu enggak suka Laksita dan masih setia nungguin Kirani, kenapa elu mesti marah? Ga, ini saatnya elu memilih, dan Kirani kayaknya enggak pernah ngejadiin dirinya pilihan buat elu."

Airlangga menundukkan kepalanya dan terdiam. Lonceng di atas pintu berdenting. Serentak Airlangga dan Himawan menolehkan kepalanya, dan mendapati Laksita yang berdiri di ambang pintu.

"Inget, Ga, ini saatnya elu memilih. Gua ke belakang dulu," ujar Himawan hampir berbisik, lalu bangkit dan beranjak pergi.

Laksita melangkah pelan-pelan, lalu mengambil alih kursi Himawan. Ditatapnya kepala Airlangga yang menunduk, dan hatinya merasa agak rawan ketika mendapati wajah Airlangga yang lebih murung daripada biasanya.

"Airlangga, bikin origami, yuk. Kemari malam gua baru belajar bikin origami baru, nih," ujar Laksita sambil meletakkan ke atas meja sebuah origami berbentuk gajah berwarna biru yang ia rogoh dari saku mantelnya. Airlangga tersenyum murung kepada Laksita, dan hanya memandangi origami tersebut sekilas saja dengan tidak bergairah, lantas kembali menundukkan kepalanya.

"Lu kenapa, sih, Ga?" tanya Laksita pelan dan berhati-hati. Belum sempat ia mendapat jawaban, Himawan datang dengan dua gelas besar es teh manis.

"Nih, mendingan kalian minum dulu," kata Himawan sembari meletakkan gelas-gelas tersebut ke atas meja. "Eh, kamu pakai lipstik ya, Laksita? Tumben-tumbenan. Asli, kamu cantik banget," kembali Himawan berbicara sambil membungkukkan badannya, dan memandangi wajah Laksita lekat-lekat. Laksita nampak canggung, tersenyum malu-malu, dan sedikit menundukkan kepalanya. Biar bagaimanapun juga, ia pernah tergila-gila kepada lelaki ini, tapi kini perasaan itu mulai pudar. Pujian Himawan berlalu begitu saja seperti angin. Ia memang memakai lipstik yang warnanya hampir senada dengan warna bibirnya. Airlangga masih menundukkan kepalanya, tapi matanya mengerling sebentar mengarahkan pandangan ke wajah Laksita. Senyum murung menggores wajahnya saat memandang sapuan tipis nude lipstick berwarna peach pada bibir Laksita.

"Ya udah, kalian gua tinggal dulu ya. Silakan mesra-mesraan, mumpung ini kafe lagi sepi," ujar Himawan dengan nada menggoda, kemudian beranjak pergi.

Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang