Malam di Jakarta, disertai hujan deras yang belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Entah dengan cara bagaimana, suara berat dan maskulin penyiar lelaki yang meluncur dari radio itu mencipta suasana hangat dan nyaman di dalam mobil yang sedang dikendarai oleh Kirani. Ia terdiam dalam kemacetan yang menjebaknya, sementara matanya memandangi kombinasi warna lampu kota di luar yang dibuyarkan kucuran air hujan pada kaca samping mobil. Cahaya lampu-lampu itu bergetar-getar seolah-olah sedang menggigil. Sang penyiar menghentikan ocehannya, mempersembahkan sebuah lagu yang membuat ingatan Kirani terlempar ke masa silam. Lagu "Separate Lives" dari Phil Collins. Ia tersenyum. Dikeraskannya volume radio itu, lantas ia menaikkan kakinya ke atas jok dan memeluknya.
Lagu itu pelan-pelan membentuk wajah Airlangga di pikirannya, seiring sebuah pertanyaan yang mendadak muncul di benaknya: apa kabar, kamu, Airlangga? Selama lima tahun menetap di Jakarta, ia sebetulnya selalu menyempatkan diri pulang ke Bandung, tanpa menemui Airlangga. lima tahun ia tidak bertemu muka dengan pemujanya itu, dan selama lima tahun itu pula Airlangga selalu menyempatkan diri mengiriminya puisi, dan puisinya yang terakhir kemarin ia dapatkan terasa mengguncang hatinya. Puisi itu benar-benar puisi Airlangga yang terbaik.
Mendadak sebuah perasaan yang melankolis tiba-tiba menguasai dirinya. Hujan, lampu kota, lagu Phil Collins, dan bait-bait puisi terakhir dari Airlangga seperti membaur menjadi mantra-mantra sihir yang melenakannya pada bayang-bayang Airlangga, lelaki yang tidak pernah ia cintai, namun selalu membuatnya tersanjung dengan puisi-puisinya, membuatnya merasa menjadi perempuan tercantik di dunia. Kirani menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan ia baru saja tersadar dari sesuatu, dari sebuah mantra sihir yang kuat ketika suara klakson mobil dari belakangnya menjerit. Diturunkannya kedua kakinya, diinjaknya pedal gas, dan mobilnya merangkak pelan. Lagu terus mengalir, seperti sungai yang membelah pikirannya dengan arus yang tenang dan suara riciknya yang bening. Pada permukaan air sungai itu ia bisa melihat dengan jelas bayangan Airlangga, menatapnya dengan murung. Tawa kecil terderai dari mulutnya.
***
Sudah lama sebetulnya Laksmi khawatir soal anaknya. Sejak dulu, Laksita selalu bertingkah laku seperti lelaki. Mulai dari selera berpakaian, gerak-gerik tubuhnya, hingga caranya berbicara. Pertanyaan yang sering muncul di benaknya adalah soal orientasi seks anaknya: apakah ia menyukai laki-laki? Sepanjang sembilan belas tahun mengasuh anaknya, ia belum pernah mendapati anaknya mengenalkan seorang lelaki kepadanya. Kadang ia merasa perasaannya ini terlalu berlebihan, tapi tetap saja ia tidak dapat menutupi rasa waswasnya. Soal Laksita yang belum pernah sekalipun mengenalkan kekasihnya tidak akan menjadi masalah besar baginya jika saja Laksita masih bisa menunjukkan ciri-ciri "keperempuanan" kepadanya. Ia hanya akan menganggap bahwa Laksita telat memasuki masa puber. Tapi ini lain soal. Laksita benar-benar seperti lelaki, dan malam ini ia tahu ia harus bertindak ketika dilihatnya Laksita yang pulang dengan gerak-gerik yang benar-benar maskulin. Anak perempuannya itu berjalan seperti lelaki dengan umpatan-umpatan yang sangat "lelaki" lalu menohok kecurigaan Laksmi ketika anaknya itu duduk di sofa depan televisi dengan posisi duduk yang benar-benar "lelaki". Malam itu, ketika santap malam berlangsung di meja makan, Laksmi segera melancarkan rencananya. Langsung tembak ke inti persoalan.
"Laksita, ada sesuatu yang mau Ibu tanyakan sama kamu," ujar Laksmi berhati-hati. Matanya tidak lepas dari anaknya itu. Dada Laksita yang memang tidak terlalu besar tertutup oleh kaos gombrongnya yang bergambar wayang kulit Srikandi, sehingga nampak rata. Sesuatu yang membuat Laksmi semakin waswas, sebab dada yang tersamar oleh kaos itu membuat Laksita benar-benar mirip lelaki, apalagi rambutnya tergelung, sehingga seakan-akan rambutnya pendek jika dilihat dari depan.
"Apa, Bu?" timpal Laksita tanpa memandang Ibunya. Wajahnya merengut. Pikirannya masih tertuju kepada Airlangga yang sejak kejadian di kafe tadi telah resmi ia cantumkan di daftar musuh-musuh besarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
Roman d'amourIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...