Sudah beberapa hari ini Kirani merasa gelisah. Airlangga tidak lagi me-like postingan di media sosialnya dan tidak mengiriminya puisi. Wajar saja, Airlangga telah kehilangan smartphone-nya. Tanpa dua hal tersebut dari Airlangga, Kirani merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya: perasaan bangga karena dikagumi dan dipuja setinggi langit. Ia tidak bisa lagi menunjukkan puisi-puisi Airlangga kepada teman-temannya di kampus, sesuatu yang selalu membuat rasa bangganya kian menjulang. Sebagian besar temannya ada yang merasa iri kepadanya dan sebagian lagi menertawakannya, meski Kirani tahu bahwa sebetulnya sebagian mereka yang menertawakan ini hanya iri kepadanya. Yang jelas, dengan menunjukkan puisi-puisi Airlangga kepada mereka semua, Kirani merasa menjadi orang yang "sangat penting", sesosok puteri yang dipuja, dan kini ia merasa kehilangan, meski ia selalu menutupi rasa bangganya ini dengan sama-sama mengejek puisi-puisi dari Airlangga di hadapan teman-temannya. Mengesankan Airlangga sebagai orang aneh dan kikuk di hadapan teman-temannya juga memberikan kepuasan tersendiri baginya, sebab ia merasa menjadi seorang putri dengan kekuatan superior yang membuat Airlangga tunduk kepadanya.
Dari luar, matahari pagi yang terus merangkak naik menembuskan sinarnya pada sehelai kelambu yang menutupi sebuah pintu kaca geser di kamar tersebut. Kirani terdiam dengan smartphone yang tergenggam di tangannya. Seperti biasa, kegiatan yang paling pertama kali selalu dilakukannya setiap pagi memang mengecek smartphone-nya, melihat seberapa banyak orang yang me-like postingannya, dan tentu saja, berharap Airlangga mengiriminya puisi. Tapi pagi ini lagi-lagi tidak ada dan ia lagi-lagi harus mengawali pagi harinya dengan malas. Harus ia akui, puisi dari Airlangga selalu membuatnya bersemangat menjalani hari. Dengan malas, Kirani menyingkap selimut yang masih menutupi tubuh jangkungnya, lalu duduk di gigir ranjang. AC yang masih menyala membuatnya merasa dingin dan ia segera mematikannya. Ia lalu bangkit dan menggeser pintu kaca di hadapannya. Sinar matahari menyambutnya dengan sapuan cahaya hangat di wajahnya. Ia berdiri di ambang pintu tersebut, memandangi tinjauan rumah-rumah dan pucuk-pucuk gedung Jakarta yang berjulang. Ketika itulah, ia mendengar smartphone-nya berbunyi dari atas ranjang. Hatinya melonjak dan bergumam meyakinkan bahwa itu pastilah dari Airlangga. Kirani beranjak setengah berlari menuju ranjangnya dan segera meraih smartphone-nya. Tapi wajahnya seketika menunjukkan raut murung dan kesal ketika mendapati bahwa itu bukan dari Airlangga, melainkan dari Himawan. Diletakkannya kembali benda tersebut, dan ia kembali ke ambang pintu kaca, sementara hatinya tertuju kepada Airlangga.
***
Empat hari sudah berlalu sejak kejadian di Taman Sari, dan Laksita masih belum juga dapat menghilangkan bayang-bayang Airlangga dari benaknya, meski ia sudah berusaha mengusirnya. Bahkan kini, ia lebih sering memikirkan Airlangga daripada Himawan, sesuatu yang membuatnya kesal dan tidak mengerti.
Petang itu setelah shalat maghrib, Laksita duduk di kusen jendela kamarnya, seperti biasa. Ia baru saja pulang kuliah dan pikirannya masih lelah oleh materi-materi dari dosennya juga tambahan pikiran tentang Airlangga, ditambah lagi pikiran tentang buku catatan puisinya yang masih belum ia temukan. Langit yang putih sudah mulai mengelabu dengan berkas-berkas sisa senja dan Laksita tertegun memandang pantulan langit tersebut dari air di pot besar tempat Splinter berendam. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang terpantul di air yang tenang tersebut, sesuatu yang membuatnya tersentak. Serangga itu! Tidak salah lagi! Itu adalah serangga aneh yang dilihatnya bertahun-tahun yang lalu saat ia masih kecil! Laksita mendongakkan kepalanya dan serangga itu nampak tenang mengambang di udara. Dengan wajah yang disapu keterpanaan, Laksita pelan-pelan turun dari kusen, keluar dari kamarnya. Tidak lupa diambilnya ransel yang tergeletak di permukaan kasur di bawahnya. Serangga tersebut lalu melaju, terbang dengan kecepatan rendah. Laksita mengendap-ngendap mengikutinya, terus, hingga serangga tersebut membawanya keluar dari pagar rumahnya, melintasi jalanan beraspal, terus, hingga sampai ke jalan besar. Laksita bagaikan seseorang yang terkena hipnotis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
RomanceIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...