28. Lipstik Pertama

346 26 1
                                    

Laksita meletakkan kembali lipstik itu ke atas meja kamarnya. Setelah dipikir-pikir, ia merasa tidak perlu banyak bersolek. Ia baru saja mencuci wajahnya dengan sabun wajah, dan ia merasa itu sudah cukup. Lagipula ia bukan tipe perempuan yang gemar bersolek. Lagipula Gilang bukan pacarku, pikirnya sambil memandang wajahnya yang memantul di cermin. Diliriknya jam dinding di atas cermin. Sudah hampir jam tiga sore, dan Gilang, penjaga toko buku yang ia akui sebagai pacarnya di hadapan Airlangga belum juga datang menjemputnya. Kemarin malam lelaki itu menelfonnya dan mengajaknya bertemu di sebuah kafe. Gilang juga berujar bahwa ada hal penting dan serius yang hendak dibicarakannya. Dari intonasi Gilang yang terdengar berat dan serius, Laksita mendapat firasat bahwa lelaki itu akan menyatakan cinta kepadanya, dan ia merasa yakin akan hal ini. Keyakinannya ini diperkuat oleh pernyataan Gilang bahwa ia akan meminta izin kepada atasannya untuk dapat pulang lebih awal dengan alasan ada keperluan keluarga.

Laksita mendesah dan memandang lipstiknya di atas meja dengan sorot mata sayu yang menyiratkan kegelisahan. Ia tersenyum murung, mengingat kembali saat dulu ia meminta lipstik itu dari ibunya.

"Buat siapa lipstik, Sita?" tanya ibunya saat itu dengan raut wajah yang digantungi keheranan.

"Ya buat Sita, dong, Bu. Masa buat Splinter," timpal Laksita agak ketus.

"Apa Ibu enggak salah denger? Kamu? Pakai lipstik? Kamu sehat, kan, Sita?" canda Ibunya dengan diakhiri tawa terkikik.

"Jadi, Ibu mau ngasih enggak, nih?"

"Ya, nanti Ibu kasih, jangan cemberut gitu, ah. Ibu malah seneng kamu mulai tertarik pakai lipstik, asal jangan kamu pakai buat ngegoda Oom-Oom, hehehe. Nanti sekalian Ibu ajarin juga kamu cara pakainya. Kamu mau ketemuan sama Airlangga, ya?"

Laksita tidak menjawab saat itu dan hanya tersenyum malu sambil memandangi Ibunya. Dan begitulah, hari itu adalah pertama kali ia memakai lipstik, hari di mana Airlangga memberinya pernyataan aneh yang mengagetkannya di kafe: bahwa mereka sebaiknya tidak usah saling bertemu lagi. Pernyataan yang menggoreskan luka di hatinya sampai sekarang. Laksita mengeluh dalam dengusan panjang saat menyadari bahwa semua luka yang digoreskan Airlangga belum juga mengusir rasa cintanya kepada lelaki itu. Hampir setiap hari, sejak pertemuan terakhirnya dengan Airlangga di rumah sakit, ia mencoba membenci dan melupakan lelaki itu, dan pada akhirnya semua usahanya sia-sia. Malahan ia mendapati bahwa rasa cintanya semakin mengakar di hatinya, mencengkram kuat kebenciannya. Laksita bahkan sebetulnya merasakan penyesalan yang mendalam saat berkata kepada Airlangga bahwa Gilang adalah kekasihnya. Ia bahkan sama sekali tidak mencintai Gilang. Sejak mengenal Airlangga, ia tidak pernah merasa tertarik lagi dengan lelaki lain, sebab ia tahu tidak akan pernah ada lelaki seperti Airlangga, tidak akan pernah ada. Laksita sebetulnya merasa risih dengan Gilang yang belakangan ini selalu mengajaknya bertemu dan sering juga mengunjungi rumahnya. Lelaki itu tahu alamat rumahnya dari buku hariannya yang terjatuh saat ia dan lelaki itu dulu bertubrukkan di toko buku. Laksita tidak pernah menyukai Gilang. Baginya, lelaki itu hanyalah sosok yang membosankan. Ia juga tidak suka dengan rambutnya yang selalu nampak kaku dan klimis oleh pomade, dan satu hal yang terpenting: Gilang bukanlah Airlangga. Tidak seperti Airlangga, lelaki itu bahkan tidak mengomentari puisi-puisi di buku hariannya. Gilang begitu menaati peringatannya di halaman awal buku harian tersebut yang menyatakan bahwa tidak boleh ada seorangpun yang berani-berani membaca buku harian tersebut. Gilang bukanlah pemberontak seperti Airlangga, seperti dirinya.

Sayup-sayup terdengar bunyi klakson dari luar. Itu pasti Gilang, pikir Laksita dengan wajah cemberut. Ia akan berusaha menjadikan pertemuan ini sebagai pertemuan terakhir dengan lelaki itu. Ia berharap kalau firasatnya akan menjadi kenyataan, bahwa lelaki itu akan menyatakan cinta kepadanya. Dengan begitu, Laksita akan mendapat peluang untuk menolak cinta lelaki itu dengan sehalus-halusnya. Laksita tidak mau menyakiti perasaan Gilang. Lewat Airlangga, ia sudah tahu bagaimana rasanya hati yang patah. Patah hati yang pertama dalam hidupnya. Diambilnya sebatang pensil di atas meja, dan disematkannya pada rambutnya yang ia gelung. Dengan malas, Laksita bangkit dan beranjak menuju pintu. Kaos hitam lusuh bergambar Morrisey dan celana jeans lusuh dengan sobekan di bagian lutut yang dipakainya membuatnya lebih mirip orang yang hendak nongkrong di warung kopi, daripada seorang perempuan yang hendak bermesraan dengan seorang lelaki di sebuah kafe.

***

Dulu Airlangga pernah menghadiri acara peluncuran buku kumpulan cerpen salah satu sastrawan senior di sana. Sejak saat itu ia bercita-cita bahwa jika suatu hari novelnya jadi diterbitkan, ia akan mengadakan acara peluncuran novelnya di tempat tersebut. Dan hari ini, cita-citanya itu terwujud. Ia merasa kafe yang berada di Jalan Hegarmanah itu memiliki atmosfir tersendiri yang membuatnya cocok dijadikan tempat peluncuran buku. Tempat tersebut tadinya adalah sebuah rumah peninggalan zaman kolonial, sebelum akhirnya disulap menjadi sebuah kafe berkonsep perpustakaan dengan desain interior vintage yang khas. Airlangga sangat bersyukur saat permohonannya kepada pihak penerbit agar peluncuran bukunya diadakan di sana dikabulkan. Peluncuran novel itu sendiri dilaksanakan di halaman belakang kafe itu, yang tentu saja tadinya adalah halaman belakang rumah. Airlangga sengaja memilih tempat yang dirimbuni semak bunga dan pohon itu karena suasananya yang tenang dan hening.

Acara belum dimulai. Dari tempat duduknya di depan, sementara moderator sedang sibuk meneliti teks pembuka acara, Airlangga menyapukan pandangannya kepada para tamu yang hadir, dan ia tersenyum saat memandang ibunya. Ia hampir tidak percaya perempuan berumur setengah abad lebih itu hadir, duduk dengan tenang di kursi, nampak mencolok di antara para tamu lainnya yang rata-rata masih remaja. Perempuan itu membalas senyumannya, dan Airlangga bisa melihat kedua mata ibunya yang sayu oleh keriput dan beban hidup itu berdenyar-denyar tersaput oleh air mata kekaguman.

Tapi tidak didapatinya Laksita di sana. Kegembiraan di hatinya tetap saja tersaput oleh kesenduan, ia merasa ada sesuatu yang kurang tanpa kehadiran Laksita di acara tersebut. Sesuatu yang benar-benar penting dan mendesak. Airlangga mendengus dan membuka ranselnya yang berada di atas meja. Sejak seminggu sebelum acara ini berlangsung, pihak penerbit dan kafe itu telah mengumumkan acara ini di akun instagramnya. Seembus harapan kecil menyejukkan hati Airlangga saat ia meminjam smartphone milik editornya sebentar dan mengetahui bahwa Laksita mem-follow akun penerbit dan kafe tersebut. Ia berharap Laksita melihat posting-an soal acara ini dan memutuskan menghadirinya. Airlangga memang memakai nama pena untuk novelnya, tapi ia yakin bahwa dari judul novelnya perempuan tersebut akan tahu bahwa novel itu adalah karyanya. Ia yakin, seyakin-yakinnya.

Airlangga tersenyum murung saat melihat sesuatu yang berada di dalam ranselnya, sesuatu yang akan ia tunjukkan kepada Laksita jika perempuan tersebut benar-benar hadir, meski ia tahu harapan tersebut sangat kecil.

Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang