14. Belajar

352 20 0
                                    

Sofa empuk berwarna hijau tua itu mendesis saat Himawan mendudukinya. Lelaki itu melesak, seakan-akan sebagian tubuhnya ditelan oleh sesosok monster berbentuk gumpalan lumut besar. Diturunkannya tubuhnya, sehingga kepalanya rebah pada sandaran sofa. Sambil memejamkan matanya ia mengembuskan satu napas panjang dari mulutnya dan tersenyum sementara kedua kakinya tegak lurus bertumpang bagian bawah meja. Ini adalah hari yang sangat melelahkan baginya. Kafe sangat ramai hari ini dan sofa di ruang tamu Kirani selalu berhasil mengusir rasa lelah tersebut. Selama tiga bulan berpacaran dengan Kirani, ia baru tiga kali merasakan dekapan sofa tersebut. Kirani sangat jarang pulang dan Himawan selalu senang jika perempuan itu pulang, sebab sofa itu akan menjadi singgasananya.

"Wah, wah, hebat, ngapel ke rumah pacar cuman numpang molor doang," ujar Kirani sedikit kesal saat memasuki ruangan itu dengan secangkir kopi hitam panas dan mendapati Himawan dengan bunyi dengkuran dari mulutnya yang terbuka. Suaranya sengaja ia keraskan supaya lelaki itu terbangun. Menyadari bahwa Himawan tidak membuka matanya, sesaat setelah meletakkan cangkir ke atas meja, Kirani beringsut ke belakang sofa yang diduduki Himawan. Hatinya agak bergidik jijik saat memandang mulut Himawan yang menganga. Ia tidak percaya bahwa ia menjalin hubungan cinta dengan lelaki yang mulutnya kini semakin menganga tersebut. Semua ini gara-gara Airlangga. Sejak lelaki itu absen mengiriminya puisi, pesona Himawan pelan-pelan pudar, dan sedikit demi sedikit Airlangga mulai memancarkan pesonanya. Ya, ia sangat rindu kepada Airlangga, kepada puisi-puisinya. Ada yang hilang dari hidupnya, sesuatu yang baru dirasanya kini sangat berharga saat puisi-puisi Airlangga tidak lagi menyapanya: semangat dan gairah hidup, ya, Kirani kehilangan kedua hal tersebut. Sambil berkacak pinggang dipandangnya wajah Himawan lekat-lekat dan rasa jijiknya semakin bertambah saat melihat kedua kelopak mata lelaki itu yang sedikit terbuka, menampilkan bola matanya yang naik. Lelaki itu nampak seperti seseorang yang mati akibat jeratan tali di batang lehernya. Mendapati hal ini, timbul rasa kesal di hatinya. Ia berjalan kembali ke meja, mengambil cangkir kopi Himawan dan melangkah kembali mendekati lelaki itu. Dengan hati yang muak saat memandang air liur yang keluar dari sudut bibir Himawan, ditempelkannya permukaan cangkir dengan air kopi yang masih panas itu ke pipi Himawan. Sebentar mata lelaki itu bergetar mengerjap merasakan panas yang mulai merambati epidermis pipinya. Tidak lama kemudian kedua matanya terbelalak seraya teriakan mengaduh dari mulutnya, seakan-akan ia sedang bermimpi menjadi seekor sapi di peternakan yang ditandai dengan cap besi panas. Pandangannya yang masih disamarkan oleh kantuk segera menangkap Kirani yang berdiri di sampingnya sambil memegang cangkir kopi yang masih berada di dekat pipinya.

"Apa-apaan, sih, lu, Ni? Panas tauk! Bercanda lu kelewatan," ujar Himawan setengah berteriak sambil mengusap-ngusap pipinya yang berminyak dan air liur di ujung bibirnya.

"Lu yang kelewatan, ngapel malah tidur. Masih untung enggak gua siram muka lu pake air kopi ini," sembur Kirani dengan nada kesal, kekesalan yang sebetulnya lebih disebabkan oleh kerinduannya yang tidak berbalas kepada Airlangga. Perempuan itu lalu menyimpan kembali cangkir kopi ke atas meja dan beranjak duduk di hadapan Himawan, sementara lelaki itu masih meringis kesakitan dengan tangan yang masih diusap-usapkan ke pipinya.

"Tega amat lu, Ni," kata Himawan lirih dan ketus.

"Anggap aja itu terapi buat muka lu supaya makin kenceng dan enggak berminyak," kata Kirani cuek. Diambilnya smartphone di saku celana piyama flanelnya yang bermotif penguin-penguin kecil. Sekali dilemparnya tatapan mengawasi kepada Himawan, sebelum ia menyalakan smartphone-nya tersebut. Ia takut jika lelaki itu mendapatinya sedang membuka akun-akun media sosial milik Airlangga. Kirani memang selalu membuka akun media sosial dari lelaki-lelaki yang memujanya. Ia sangat suka dan merasa geli jika di tiap-tiap akun media sosialnya lelaki-lelaki itu menyampaikan keluh kesah dan rasa cinta yang ia tahu disampaikan kepadanya. Kirani memang memiliki banyak penggemar, termasuk Airlangga, dan kini ia harus kembali merasakan kekecewaan, sebab lelaki itu belum juga mengunggah kiriman terbaru yang seringkali ditujukan kepadanya. Ia merasa kesal dan rindu kepada lelaki itu. Ia sangat rindu dengan untaian kata-kata dari Airlangga yang berisi kerinduan kepadanya, dan biasanya lelaki itu selalu mencurahkan kata-kata itu lewat akun media sosialnya, kata-kata berisi kerinduan dan kegalauan yang perih. Ya, semakin "perih" dan "galau" kata-kata yang dicurahkan Airlangga, semakin melambung pula hati Kirani oleh rasa bangga akan kecantikannya, kecantikan yang baginya terasa seperti sihir dan membuat lelaki-lelaki pemujanya berubah wujud menjadi mainan yang tergila-gila kepadanya. Tapi kini Airlangga belum juga mengunggah kiriman terbaru tentang dirinya. Dari sekian banyak akun media sosial lelaki-lelaki yang memujanya, akun Airlangga memang yang paling sering ia intip, sebab di antara sekian banyak lelaki itu, kata-kata Airlangga adalah yang paling "perih" dan "galau". Kirani mendengus kesal saat mematikan smartphone-nya dan melamun, memandang wajah merengutnya yang terpantul pada layar smartphone itu.

Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang