Satu bulan berlalu sejak Airlangga mengirimkan naskah novelnya ke salah satu penerbit di Jakarta. Sore itu ia baru saja mandi dan sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi tubruk di ruang tamu saat didengarnya handphone ibunya berbunyi. Karena ibunya nampak sedang sibuk menyapu teras, Airlangga bangkit dari duduknya dengan malas, beranjak menuju dapur, dan mengambil handphone ibunya di atas meja makan. Dilihatnya sebaris nomor pada layar yang mengirimkan pesan singkat. Nomor yang tidak dikenalnya. Biasanya, jika mendapat nomor tidak dikenal yang tidak tercantum di album kontak, Airlangga tidak pernah membukanya, sebab nomor seperti itu biasanya datang dari penipu sayembara berhadiah. Sejak smartphone-nya raib dirampok, Airlangga memang selalu menggunakan handphone ibunya. Tapi kali ini ada sebersit perasaan aneh yang membuat Airlangga merasa penasaran dengan pesan singkat tersebut, semacam firasat. Dibukanya pesan singkat tersebut dan dibacanya. Beberapa saat kemudian kegembiraan merayapi wajahnya yang murung. Setengah berlari ia beranjak menemui ibunya di teras.
"Bu, Bu, Angga ada kabar gembira!" seru Airlangga di ambang pintu sambil mengacungkan handphone yang masih tergenggam di tangannya.
Hasna yang masih sibuk dan nampak sayu memalingkan wajahnya kepada Airlangga. "Apa, Ga? Kabar gembira apa?"
Dengan tidak sabar, Airlangga beranjak mendekati ibunya dan menyerahkan handphone kepada ibunya. "Ini, Bu. Lebih mantap kalau Ibu yang membacanya sendiri."
Hasna mengambil handphone itu dari tangan Airlangga yang menghadiahinya senyum penuh kemenangan. Dahinya mengernyit serius saat menatap layar handphone di genggamannya. "Aduh, Ga, Ibu enggak bisa baca kalau enggak pakai kacamata begini."
"O, iya, Angga lupa, Bu. Angga kasih tahu aja langsung. Jadi begini, Bu, yang Angga kasih liat itu SMS dari penerbit. Mereka bilang kalau mereka tertarik sama naskah novel yang Airlangga kirim. Itu artinya novel Airlangga mau diterbitin, Bu."
"Beneran, Ga?"
"Ya, Bu. Mereka nyuruh Angga berangkat ke Jakarta paling lambat minggu depan buat ngurus kontrak dan yang lainnya." Airlangga tersenyum lebar.
Selanjutnya hanya kesunyian yang ditingkahi cericit burung sore, sementara mereka saling beradu pandang dengan sorot mata yang sama-sama berdenyar oleh kegembiraan. Matahari bersinar cerah, seakan-akan turut merayakan keberhasilan Airlangga.
"Selamat, ya, Ga. Ibu tahu kamu pasti berhasil, Ibu selalu tahu itu. Kamu tahu? Setiap shalat tahajud, Ibu selalu mendo'akan kamu," ujar Hasna dengan lirih dan lembut.
"Ya, Bu, terima kasih. Pokoknya kalau nanti buku Angga laku, Airlangga janji mau ngasih Ibu duit sekarung, dua karung, tiga karung, pokoknya sebanyak-banyaknya," kata Airlangga girang.
Hasna menghela napas panjang dan menggenggam bahu Airlangga. "Jangan, Ga. Secukupnya saja. Liat kamu girang kayak begini, Ibu juga udah seneng. Ibu bosen tiap hari ngeliatin muka kamu yang murung terus."
"Ah, Ibu tenang aja, pokoknya nanti Angga kasih Ibu uang yang banyak, tapi, Bu..."
"Tapi apa, Ga?"
"Anu, Bu, tapi sebelumnya Angga pinjem duit Ibu dulu buat ongkos ke Jakarta..."
Sambil tersenyum, Hasna mempererat genggamannya pada bahu Airlangga. "Ya, enggak usah kamu minta juga Ibu udah ngerti, Ga. Nanti Ibu kasih, enggak usah pinjem-pinjem segala."
"Ya, deh, Bu. Makasih, ya. Angga mau mandi dulu."
"Lho, bukannya kamu sudah mandi barusan?" tanya Hasna saat Airlangga baru mencapai ambang pintu.
![](https://img.wattpad.com/cover/125372386-288-k730356.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
RomanceIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...