Langit bersih hampir tidak berawan ketika Airlangga dan Laksita berjalan menyisir trotoar Jalan Taman Sari. Matahari tersenyum ramah dan tidak lagi memamerkan cakarnya yang tajam seperti waktu siang. Panjang dan lurus, trotoar tersebut dirimbuni pepohonan besar yang berdesir-desir, seolah-olah sedang menyombong bahwa merekalah satu-satunya mahluk yang memahami bahasa angin di dunia. Daun-daun berguguran, menyeraki trotoar sampai ke jalanan beraspal, bagaikan kelupasan sisik-sisik seekor naga yang berada jauh di langit sana. Semuanya berpadu menciptakan kesunyian aneh yang damai dan sendu, sehingga Airlangga tidak ragu bersumpah-serapah di dalam hatinya terhadap seorang pengendara motor yang melajukan motornya kencang-kencang, menimbulkan suara bising yang menyayat telinganya. Jarak dari rumah Laksita di Jalan Plesiran ke Kebun Seni agak jauh, tapi Laksita memutuskan berjalan kaki saja, dan Airlangga setuju-setuju saja. Ia memang suka berjalan kaki.
"Lu suka jalan kaki, ya, Ta, kalau ke mana-mana?" tanya Airlangga santai. Di dalam hatinya ia merasa geli dengan gaya berjalan Laksita yang cepat dan terkesan sangat tidak anggun. Mirip cara berjalan laki-laki.
"Sok tauk lu," timpal Laksita tegas, sementara matanya menatap lurus ke depan.
"Alah, jangan bohong, deh, lu. Biar gua tebak: lu suka jalan kaki, karena dengan jalan kaki lu ngerasa otak lu yang macet jadi muter lagi, dan setiap hal-hal kecil yang lu temukan pas jalan kaki, yang mungkin dianggap sepele sama orang lain, justru buat lu bisa jadi sesuatu yang...yang..." Airlangga berpikir keras mencari padanan kata yang tepat untuk melanjutkan kalimatnya.
"Bermakna," ujar Laksita pelan dan memandangi guguran daun-daun yang berserakan di bawah pepohonan di pinggir trotoar, "Kayak daun-daun itu," sambungnya dengan senyuman yang mirip senyuman patung Budha.
"Ya, itu dia, bermakna. Berarti tebakkan gua bener, dong, Ta. Gua tauk kalau lu suka nulis puisi dan lirik lagu, dan dengan berjalan kaki, lu bisa dapat banyak inspirasi. Yah, harus gua akuin dengan berat hati, di dalam hal ini, kita sama," kata Airlangga bagai seorang peramal.
"Apa? Sama? Idih, lu aja yang nyama-nyamain gua. Guamah ogah disama-samain sama lu. Gua, ya, gua. Lu, ya, lu."
"Terserah lu, deh, Ta. Kita memang tidak sama, kecuali di dalam cinta," goda Airlangga dengan menyitir salah satu larik puisi karangan Soe hok Gie.
"Apaan, sih, lu. Jangan coba-coba ngeluarin jurus gombalan lu, lah. Enggak mempan. Pake ngeplagiat puisi dari Soe Hok Gie lagi," ujar Laksita sengit sambil sebentar memandang Airlangga dengan ketus.
"Enggak mempan, tapi muka lu merah. Ta, kan, kita pacaran. Wajar, dong, sebagai kekasih lu gua ngasih dua-tiga jurus gombalan gua," sahut Airlangga.
"Rese lu!" seru Laksita setelah sebelumnya ia meraba-raba wajahnya. Baru di saat itulah ia merasa perlu membawa cermin kecil. Ketika Airlangga berkata bahwa mukanya merah, ia merasa malu dan sangat ingin mengecek kebenarannya. Selama ini ia tidak pernah membawa cermin atau peralatan kosmetik di tas ranselnya. Ia tidak terlalu suka berdandan.
***
Kebun Seni berada di areal parkir Kebun Binatang Bandung. Tempat itu memang diperuntukkan bagi para seniman yang ingin berkarya dan menjual karya-karya tersebut di kios-kios yang disewakan oleh pihak kebun binatang. Suasananya yang hening ditambah keteduhan pepohonan dari trotoar dan juga dari balik dinding kebun binatang membuatnya menjadi tempat yang cocok bagi para seniman untuk berburu inspirasi (dan tidur tentunya).
Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih saat Airlangga dan Laksita memasuki gerbang Kebun Seni dan menjejaki susunan paving block yang menutupi keluasan tempat itu. Beberapa mobil terparkir di sana, terdiam dan murung bagaikan penyair yang menikmati senja. Kios-kios berjejer rapi hampir menutupi dinding pembatas kebun binatang. Guguran daun, buah petai cina yang kering dan patahan ranting berceceran di masing-masing atapnya. Laksita memandu Airlangga menuju sebuah meja di luar kantin, kemudian mereka duduk berhadap-hadapan di kursinya yang terbuat dari kayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
Lãng mạnIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...