19. Seekor Ular dan Daun yang Gugur

321 18 0
                                    

Pada awalnya Laksita tidak tahu harus melangkahkan kakinya ke mana. Sempat terpikir olehnya akan pergi ke rumah Gianti, tapi segera terpikir olehnya bahwa mendengar ocehan Gianti yang berisik hanya akan semakin menambah kegelisahannya. Duduk di halte sambil terus menangis, pikirannya menjelma sebuah plang penunjuk arah yang berputar kencang terembus badai. Ditatapnya kendaraan-kendaraan yang lewat dan pergi, saling menyapa dengan cahaya lampu dan deru mereka di atas jalanan beraspal. Akhirnya, setelah tangisnya tinggal senggukkan-senggukkan kecil dan pikirannya mulai jernih, ia memutuskan untuk pergi ke Kebun Seni, menemui Sasongko.

Bagi Laksita, Sasongko sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Anggapan ini bukan hanya tersebab usia Sasongko yang jauh lebih tua darinya. Lebih dari itu, ialah sebab Sasongko selalu memberi nasihat-nasihat bijak kepadanya ketika ia sedang dilanda kesusahan. Suara bass baritone Sasongko yang lembut dan berat selalu mampu membuat hatinya damai, mirip suara ayahnya yang sudah lama tidak ia dengar.

Begitulah, Laksita bangkit dan beranjak menyisir trotoar. Alangkah rawan hatinya ketika gemerisik pepohonan seperti mempertegas kelengangan jalan tersebut. Ialah suatu kelengangan yang memberinya perasaan tercekam. Tidak lagi bunyi gemerisik pepohonan tersebut mencipta musik merdu seperti waktu trotoar tersebut dilaluinya bersama Airlangga. Laksita melangkah dengan canggung, seakan-akan trotoar yang lurus dan panjang itu adalah sebuah jembatan lapuk yang reyot. Di setiap langkah yang ia ambil, perkataan Airlangga bergema di pikirannya, seperti salak seekor anjing di malam yang sunyi dan mencekam. Ransel di punggungnya terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah semua beban hidupnya tersimpan menjadi sebongkah batu besar di dalamnya.

***

"Lihat Kang Sasongko enggak, Mas?"

Ratno sedang sibuk menyapukan kuas ke permukaan kanvas besar di hadapannya ketika Laksita bertanya kepadanya. Keringat belum mengering di tubuh Laksita, sementara ia berdiri di depan kios pelukis tersebut dengan napas yang masih tidak teratur. Duduk di sebuah bangku kecil berkaki pendek, Mas Ratno mengerling kepada Laksita dengan raut wajah kesal, seperti ia terusik oleh Laksita, sementara wajahnya masih menghadap kanvas.

"Enggak lihat. Cari saja di kios Kalis. Biasanya, kan, dia ada di sana," kata Ratno, diam sebentar, kemudian kembali menyapukan kuasnya dengan wajah acuh tak acuh.

"Oh, ya, Mas Ratno. Terima kasih. Maaf mengganggu," ujar Laksita, lantas beranjak pergi setelah sebelumnya Ratno menjawabnya dengan deheman berat.

Kalis adalah seorang penulis terkenal. Di Kebun Seni ia menyewa sebuah kios tempatnya menjual buku. Meski begitu, kiosnya lebih sering dijadikan tempat mengaso atau berdiskusi para seniman, terutama penulis, dan memang inilah tujuannya. Itulah sebabnya kiosnya ia atur sedemikian rupa sehingga terasa nyaman dan membuat betah. Kalis sendiri jarang berada di sana, sebab kesibukannya sebagai seorang dosen, juga karena ia sering ditunjuk sebagai pembicara di acara-acara diskusi sastra. Oleh sebab itu, ia menduplikat kunci kiosnya, dan memberikannya kepada beberapa temannya, termasuk Sasongko, dan berpesan supaya kiosnya menjadi tempat yang ramai oleh diskusi dan pertukaran pikiran.

Benar saja, ketika Laksita sampai di depan kios Kalis, Sasongko ada di sana. Berkemeja rapi seperti biasa, lelaki tersebut sedang duduk bersila menghadap laptop di atas meja berkaki pendek di depannya. Petang yang mulai menggelap dan lampu neon di dalam kios yang belum dinyalakan membuat cahaya dari layar laptop tersebut nampak jelas, memapar wajah Sasongko yang nampak serius. Manakala ia menyadari Laksita yang berdiri di depan kios, raut wajah seriusnya menjadi sedikit santai bersamaan dengan senyuman yang ia berikan kepada Laksita.

"Eh, ada Laksita. Ayo, ke sini masuk," ujar Sasongko ramah. Lensa kacamatanya berkilat-kilat tersemprot cahaya dari layar laptop.

Dengan langkah pelan Laksita beringsut menaiki undakan kios, dan langsung mengambil tempat duduk di samping Sasongko, menyandarkan punggung lelahnya ke rak buku besar di belakangnya.

Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang