Laksita nyaris terjatuh pagi itu saat beringsut dengan sempoyongan menuruni ranjang rumah sakit dengan dipandu oleh ibunya. Laksita sebetulnya masih belum pulih sepenuhnya, tapi ia mendesak ibunya supaya dapat pulang hari itu, dan ibunya mengabulkan permohonannya meski tidak setuju.
"Tuh, Ibu, kan, bilang kamu jangan dulu pulang," ujar Laksmi sambil mendudukkan Laksita di pinggir ranjang lantas memunguti buku novel yang terjatuh dari genggaman tangan anak satu-satunya itu di lantai yang masih menyengatkan bau karbol.
"Enggak apa-apa, kok, Bu. Laksita barusan tidur sebentar, jadinya masih rada pusing. Entar juga normal lagi," kata Laksita lirih.
Laksmi menyimpan buku di tangannya ke meja kecil di samping ranjang dan memandangi Laksita dengan penuh kasih. Didekatinya Laksita dan dirangkulnya dengan erat. Laksita dapat merasakan kesedihan yang menggetarkan kedua lengan Laksmi saat ibunya itu membelai dan menciumi rambutnya.
"Kamu yang sabar, ya, Sita. Ibu tahu dengan ditangkapnya Kang Sasongko tidak akan serta merta menghilangkan rasa sakit dan kekecewaan kamu. Percayalah, Ibu tahu bagaimana rasanya disakiti oleh lelaki. Tapi hidup terus berjalan, Laksita, dunia terus berputar. Dunia ini bukan surga yang terus-menerus diisi kebahagiaan," Laksmi berkata lirih, lalu melepaskan pelukkannya dan memandang Laksita dengan sorot penuh kasih sayang, "Laksita, Ibu pernah kehilangan seseorang yang sangat Ibu cintai dulu, dan Ibu enggak mau lagi itu terulang..."
Laksita terdiam memandangi Ibunya dengan serius. Ia tahu siapa seseorang yang membuat Laksmi merasa kehilangan itu. Ayahnya. Ia tidak habis pikir, kenapa ibunya masih saja merasa kehilangan atas suaminya setelah sekian lama lelaki itu menggoreskan luka dalam hidupnya. Laksmi bahkan masih menggantung foto suaminya di rumahnya. Laksita memalingkan pandangannya dari Laksmi dan menunduk. Jantungnya berdetak kencang saat ia teringat Airlangga. Di saat itulah ia menyadari bahwa cinta adalah sesuatu yang rumit, sesuatu yang mengaburkan batas antara kasih sayang dan kebencian, dan ia merasa benci kepada dirinya sendiri saat menyadari hal ini, kebencian yang lebih besar ketimbang kebenciannya kepada Airlangga.
"Laksita, kamu yang kuat, ya..."
Kembali Laksita mengangkat wajahnya dan memandangi Laksmi. Ditelusurinya dua garis air mata yang menggores pipi ibunya itu, dan ia merasakan kesedihan yang mendalam di hatinya. Laksita mengangguk dengan kesedihan yang membatu di tenggorokannya, kesedihan yang juga disebabkan oleh kenyataan bahwa rasa cintanya kepada Airlangga masih belum juga pudar meski lelaki itu kemarin telah menyayat hatinya dengan luka...
***
Meski di atas meja makan kecil di dapur itu telah tersaji tiga pindang bandeng goreng, malam itu Airlangga lebih memilih menu favoritnya sejak kecil: sepiring nasi yang diaduk dengan saus kecap dan ditaburi remukan emping. Ia tidak terlalu suka ikan bandeng karena duri-durinya yang rapat dan membuatnya repot. Ibunya, Hasna, yang duduk di depannya hanya bisa tersenyum pasrah, menyadari bahwa anak satu-satunya itu tidak menyentuh ikan bandeng tersebut. Diambilnya satu ikan bandeng dan segera dipisahkannya daging ikan itu dari duri-durinya, lantas diletakkannya di piring Airlangga.
"Nih, Ga, Ibu sudah pisahin duri-durinya. Ibu lupa kalau kamu enggak terlalu suka ikan bandeng," kata Hasna lembut. Ia tidak tega melihat Airlangga hanya makan dengan saus kecap dan emping saja, meski anaknya itu terlihat begitu menikmatinya dengan lahap.
"Enggak apa-apa, kok, Bu. Dari tadi emang Airlangga udah kebayang-bayang sama nasi kecap ini, udah kangen," ujar Airlangga dan mengakhiri kalimatnya dengan senyuman murung. "Ibu, kan, tahu sendiri kalau Airlangga suka banget nasi kecap sama emping," sambungnya sambil menyuapkan secuil daging ikan bandeng dari Laksmi dengan sendok. Daging itu sudah dingin dan agak alot, rasanya terlalu asin pula.

KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
RomanceIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...