18. Seekor Beruang Grizzly dan Pisau Daging

269 21 0
                                    

Berdiri sambil membungkuk dan menelekan telapak tangannya pada tepian meja, Airlangga menatap barisan pisau dapur yang tergantung di hadapannya. Sebilah pisau daging besar tertimpa cahaya hangat matahari dari lubang udara, memantulkan wajahnya yang tersepuh oleh warna amarah yang merah padam. Sebentar ia diam, merapikan deru napasnya yang memburu, berusaha tenang. Ditundukkannya kepalanya. Matanya langsung tertumbuk kepada sisa irisan tomat dan daun bawang di atas talenan. Ini lebih baik, pikirnya. Entah kenapa, memandang pisau daging membuat amarahnya semakin meluap-luap.

Himawan pernah berseloroh kepada Airlangga bahwa bekerja di sebuah kedai makan membuat emosi gampang terpancing sebab hawa dapur yang panas. Himawan juga berseloroh bahwa dapur sebuah kedai makan berada di urutan pertama daftar tempat yang rawan dengan pembunuhan sebab dapur menjadi tempat berbagai macam peralatan memasak yang tajam.

Saat itu Airlangga hanya tersenyum. Kini Airlangga merasakan kebenaran dari kata-kata Himawan, bahkan meski saat itu kompor tidak sedang menyala dan hawa terasa sejuk. Api amarahnyalah yang kini membakarnya, membuat sekujur tubuhnya terasa panas dan kepalanya berdenyut-denyut seperti hendak meledak. Kini tahulah ia mengapa Himawan begitu bersikeras menjodohkannya dengan Laksita. Kenyatan ini begitu menyayat hatinya. Ia beringsut dan berdiri di ambang pintu dapur, memandang Himawan dan Kirani yang juga memandangnya.

Dengan langkah yang mantap Airlangga berjalan. Kedua telapak tangannya terkepal dan bergetar-getar menggenggam bara amarah. Himawan dan Kirani menundukkan kepalanya ketika Airlangga melintas di hadapan mereka.

"Ga, tunggu dulu, gua bisa jelasin semuanya."

Baru saja Airlangga memegang pegangan pintu kafe, Himawan berlari menjelangnya dan menggenggam bahu Airlangga. Sejenak mereka terdiam, beradu degup jantung yang sama-sama berderu kencang. Tepat ketika Himawan melepaskan genggamannya, dengan tidak terduga Airlangga berbalik dan melayang tinjunya ke pelipis Himawan. Kirani sontak menjerit. Bayangan-bayangan tentang kebanggaan yang akan dirasakannya ketika dua lelaki bertengkar demi memperebutkannya kini sirna, berganti dengan kengerian ketika Himawan jatuh tersungkur menabrak meja di dekatnya.

Airlangga terdiam sebentar, lantas berjalan menjelang Himawan yang masih rebah dan menggelepar di lantai. Himawan benar-benar tidak berdaya, seperti seorang pemburu yang diterkam seekor beruang grizzly besar manakala Airlangga berlutut di hadapannya, merenggut kerah kaosnya dan mengacungkan tinjunya tinggi-tinggi. Jeritan Kirani semakin keras disertai tangisan. Kemarahan Airlangga semakin memuncak ketika dilihatnya liontin kalung Kirani, segera setelah ia melihat liontin kalung Himawan. Tangannya yang terhenti di udara bergetar-getar, lantas sambil berteriak-teriak ia menghantamkan tinjunya, bukan ke wajah Himawan, melainkan ke lantai di samping kepala Himawan, bertubi-tubi. Himawan mengaduh saat Airlangga merenggut kalungnya hingga putus dan terlepas.

"Semuanya udah jelas, pengkhianat!" seru Airlangga terengah-engah sambil mengacungkan kalung tersebut ke hadapan wajah Himawan, lalu melemparkannya ke arah Kirani. Ia lalu bangkit, setelah sebelumnya menghempaskan tubuh Himawan dengan keras, dan keluar. Kirani terus menangis.

Di luar sepi. Juru parkir yang duduk di atas jok motor memandang Airlangga tajam. Mungkin didengarnya samar-samar jerit Kirani, sehingga ia menduga-duga kaitannya dengan Airlangga yang keluar dengan wajah berpenuh amarah. Airlangga tidak peduli dan terus melangkahkan kakinya lekas-lekas. Niatnya pergi ke toko buku raib. Diambilnya bungkus rokok dari saku kemejanya dengan tangannya yang berkedut-kedut oleh rasa sakit, kaku dan melengkung bagaikan cakar seekor burung yang mati. Pelan-pelan diambilnya sebatang rokok dan diapitkannya di bibirnya. Amarahnya kembali meledak ketika ia mendapati bahwa pemantik apinya tidak kunjung menyala. Dengan berpenuh kesal dilemparkannya pemantik api tersebut, juga rokoknya. Pemantik api tersebut pecah menimpa jalan, menimbulkan ledakan kecil berasap. Beberapa mahasiswa yang lalu lalang dan yang sedang bersantai di kedai-kedai serentak menolehkan kepalanya karena kaget dan serentak memandangi Airlangga. Angin sore sejuk yang menyelusupi kerah kemejanya tidak mampu menghalau amarah yang sudah sedemikian panas di tubuhnya.

Di ujung jalan Gelap Nyawang langkah Airlangga terhenti saat ia berpapasan dengan Laksita. Sejenak mereka saling terdiam dan bersitatap. Jeritan klakson dari mobil yang melaju kencang memisahkan pandangan mereka yang beradu. Airlangga tersadar dari lamunannya, memalingkan pandangannya dan segera menundukkan kepalanya. Dipandanginya retakan-retakan pada permukaan trotoar, lantas ia beringsut melewati Laksita yang sama menundukkan kepala.

Laksita terdiam sejenak, lalu berbalik dan setengah berlari mengejar Airlangga.

"Airlangga, tunggu, lu ini kenapa, sih?" Laksita berujar sambil menggamit batang lengan Airlangga dan menggenggamnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati buku-buku jari Airlangga yang kulitnya mengelupas, disertai bercak-bercak darah yang hampir kering. Lekas-lekas Airlangga melepaskan lengannya dari genggaman Laksita.

"Kenapa itu tangan lu, Ga?" tanya Laksita dengan raut wajah yang masih terkejut.

Airlangga tidak menjawab. Hanya pandangan murung ia berikan yang semakin membuat hati Laksita bertanya-tanya. Airlangga berbalik dan baru saja ia hendak melangkah pergi, Laksita kembali menggenggam lengannya.

"Airlangga, gua mohon, bicaralah," ujar Laksita tersendat-sendat.

Pelan-pelan Airlangga berbalik dengan tangan yang terkepal. Bahunya bergetar dan Laksita dapat melihat mata Airlangga yang berkaca-kaca serta bibirnya yang menggigil.

"Kita sebaiknya enggak usah bertemu lagi, Ta," kata Airlangga parau.

"Tapi kenapa, Ga?" tanya Laksita, dan kini suaranya mulai bergetar parau oleh kesedihan.

"Kan udah gua bilang, kita enggak usah bertemu lagi. Lu ini keras kepala, ya!" jawab Airlangga setengah berteriak dengan nada memaki.

"Lu ini, dasar..." Laksita tidak melanjutkan ucapannya. Ia terdiam dengan napas yang terengah-engah. Matanya yang nyalang pelan-pelan menjadi sayu, dan seketika ia melayangkan tinjunya tepat di pipi Airlangga.

Laksita tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya. Pelan-pelan ia mundur sambil memandangi Airlangga yang mematung tidak melawan. Darahnya yang semula menderas kini kembali berdesir pelan, mengalirkan sisa-sisa amarahnya yang dilarutkan oleh penyesalan.

"Pergilah, Laksita, dan jangan temui saya lagi," ujar Airlangga lembut dan berat, lalu memberi Laksita senyuman murung.

Tangis Laksita semakin berderai. Ia berbalik, lalu melangkah meninggalkan Airlangga. Disapunya air mata yang mengiris-ngiris pipinya, meski irisan-irisan tersebut masih terasa di hatinya yang gersang, perih dan membuat air matanya kian bercucuran, mengiringi langkah gontainya pada trotoar yang berdebu.


Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang