21. Rahasia di Atas Plafon Kamar

305 19 0
                                    

Duduk termenung di kursi, Airlangga termenung memandang dengan putus asa layar laptop di hadapannya. Malam sudah larut, menggenangi kamar Airlangga dengan kesunyian yang bagaikan lumpur hitam dan likat yang merendamnya sampai leher, membuatnya kaku dan sesak. Hanya terdengar bunyi detik jam dinding dan gesekkan semak mawar yang menggaruk-garuk satu daun jendela kamarnya yang tertutup, menggubah paduan bunyi menyayat hati. Satu lagi daun jendela yang terbuka menyajikan angin yang membuat lantai menggigil dan terasa sedingin es. Laptop di hadapannya kini seperti biasa kembali menjadi keranjang sampah, tempat di mana mimpinya menjadi penulis sukses terbuang. Ya, kini kepalanya hanya mesin usang penghasil sampah mimpi. Rasa sakit yang dirasakannya saat ini telah mencapai puncaknya. Rasa sakit atas kekecewaannya kepada Kirani, pengkhianatan sahabatnya sendiri, dan kenyataan bahwa Laksita sudah tidak mungkin ia dapatkan. Dimatikannya laptop itu, dan ia terdiam, menelusuri pantulan wajahnya di layar laptop. Dahinya yang lebar, matanya yang tenggelam di hitam tebal kantung matanya, tulang hidungnya yang mencuat, membuat hidungnya nampak keras, arogan, dan angkuh, dan di bawahnya, sebuah bibir tipis menguncup murung, bagaikan sekuntum bunga yang tumbuh di lereng yang curam. Betapa Airlangga merasa sangat mirip dengan ayahnya saat itu! Dan ketika ia menyadari hal ini, ia merasa bahwa tamparan Laksita sepadan dengan apa yang telah dilakukannya terhadap perempuan tersebut, atau bahkan mungkin belum sepadan, dan tidak akan pernah bisa.

Apa benar kegilaan seorang ayah menurun kepada anaknya? Airlangga membatin, sementara tangannya terkepal bergetar-getar saat ingatannya meluncur jauh, melawati masa-masa yang telah lewat. Kios ayahnya di pasar yang tinggal puing-puing membayang di pikirannya, hangus berkepul debu dan sisa asap kelabu. Alangkah terguncangnya ayah Airlangga waktu itu, alangkah keras goncangan tersebut, sampai-sampai merontokkan segala kehalusan budi pekertinya. Airlangga menundukkan kepalanya, menggisik-gisikkan matanya yang bergetar oleh tangis. Di dalam kegelapan kelopak matanya ia mendengar makian-makian kasar yang dulu sering dilontarkan ayahnya kepada ibunya, memantul-mantul di dinding labirin pikirannya, membuatnya merasa semakin mirip dengan ayahnya. Maafkan aku, Laksita, gumam hati Airlangga lirih, sementara suara makian ayahnya kian meninggi, berpadu dengan kilasan adegan-adegan dari ayahnya yang memukuli ibunya. Semua hal yang menyakitkan berkecamuk di pikiran Airlangga, alangkah berisiknya.

Ah, hidup, mengapa kau bentangkan jalan sunyi yang berliku-liku, bertabur duri, dan sering dijatuhi hujan seperti ini? pikir Airlangga, dan kini dirasanya kesedihan dan kesunyian mendekap dirinya. Ah, ya, kesunyian dan kesedihan, ialah kekasih yang tidak pernah berkhianat, pikirnya lagi, dan ia mengangkat kembali kepalanya. Segera ia kembali berhadap-hadapan kembali dengan pantulan wajahnya di layar laptop. Ia tercekat. Tidak ada bayang wajahnya di sana, tapi bayangan ayahnya! Ayahnya yang kerap memaki-maki ibunya selepas kiosnya terbakar, sama dengan dirinya yang tadi sore memaki-maki Laksita! Airlangga bergidik ngeri, sementara segenap buluk kuduknya meremang. Digisik-gisiknya matanya dan bayangan itu tetap terpantul di layar. Seketika ia merasakan amarah dan kekesalan yang memacu jantungnya. Ia lalu duduk menyandar tepian ranjang dengan tubuh yang panas dan berdenyut-denyut oleh amarah. Dalam tangis yang terus berderai, dirasanya kini bahwa hidup ini terasa kian menghimpitnya. Hidup yang hanya menyajikan kenyataan-kenyataan memilukan yang menghancurkan mimpi-mimpinya. Sebuah ide melintas di pikirannya saat wajah ayahnya semakin menguat di pikirannya. Ia lalu bangkit dan melangkah menuju pintu. Dibukanya pintu dengan kusen yang sudah hampir habis dimakan rayap tersebut, menimbulkan bunyi derit memilukan dari engselnya yang berkarat.

Pelan-pelan Airlangga melangkah keluar. Gerimis mengendap-ngendap di genting. Airlangga beringsut menuju dapur dengan hati yang sesak.

Ketika sampai di dapur, Airlangga segera menuju sakelar yang berada di balik rak piring. Ditekannya sakelar tersebut. Lampu menyala dan sebentar ia terdiam memandangi pintu belakang lantas melangkah pelan menjelang pintu itu. Hatinya menggigil saat ia memegang pegangan pintu tersebut dan membukanya. Belum pernah ia merasakan kengerian seperti ini saat membuka pintu tersebut. Hatinya terketar-ketar dilanda kengerian manakala ia membayangkan ayahnya yang dulu membuka pintu itu, berjalan sempoyongan sambil menggenggam segulung tali tambang. Apa yang kau pikirkan saat itu, Bapak? Airlangga berbisik di dalam hatinya, dan ia bergidik. Tidak dilanjutkannya lagi bayangan-bayangan itu.

Di balik pintu terdapat tangga menuju tempat jemuran. Tapi malam ini Airlangga tidak hendak menaiki tangga tersebut seperti biasanya. Ia melangkah lunglai menuju pintu gudang yang berada di sebrang tangga, lantas membukanya. Dinyalakannya bohlam lima watt di gudang tersebut, menyiramkan cahaya jingga yang murung. Airlangga tertegun muram memandangi benda-benda usang yang membuarkan aroma masa lalu di hadapannya. Terasa hatinya diiris-iris ketika pandangannya beradu dengan sepeda kecil dan berkarat yang bersandar lemah pada sebuah cermin besar, seakan-akan sepeda tersebut sedang becermin, mengenang kembali masa-masa ketika ia diambil oleh ayah Airlangga dari sebuah toko, masa-masa ketika Airlangga kecil menduduki sadelnya dengan tawa riang karena berhasil menjinakkannya, sementara ayahnya berdiri di belakangnya dengan senyum puas. Di stang sepeda itu ada segulung tali tambang. Diambilnya tali itu.

Airlangga duduk mencangkung, menyandar dinding di samping ambang pintu gudang. Ditatapnya sebatang kayu dari kerangka plafon yang melintang, membatasi dua buah lubang persegi dari plafonnya yang tidak tertutup papan triplek. Pada sebatang kayu itulah dulu seutas tali tambang terikat, terjulur ke bawah, dan menjerat leher ayahnya. Di gudang itulah dulu Airlangga memandang kaki ayahnya yang mengambang di udara dari celah jari-jemari ibunya. Ia menangis lirih, segulung tali tambang di genggamannya bergetar-getar hebat, dan giginya berkerot-kerot merasakan beban yang menindih pikirannya. Kini ia benar-benar berada di titik nadirnya. Mimpi-mimpinya serasa hancur, semuanya....

Dengan mantap, Airlangga bangkit dan beranjak meraih sebuah tangga lipat dari besi yang berada di dekat sepeda. Ujung kaki tangga menggeret lantai tegel, menggores kesunyian dengan jeritannya yang tersendat-sendat.

Tangisan Airlangga kian membuncah ketika ia meletakkan tangga tersebut di bawah lubang pada atap. Besi anak-anak tangga yang dingin menggigilkan telapak kakinya ketika ia menjejakinya satu per satu.

Baru saja Airlangga hendak mengikatkan tali tambang ke batang kayu ketika ia sampai di puncak tangga, jantungnya tersentak ketika ia melihat sesuatu yang berada agak jauh di hadapannya, di kegelapan bagian atas plafon kamarnya. Tali tambang terjatuh dari genggamannya.


Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang