9. Empat Jempol yang Patah

414 27 0
                                    

"Kenapa enggak naik angkot aja, sih, Ta?"

Airlangga berujar dengan gusar. Di waktu hari masih terang, Jalan Taman Sari memang indah dengan pohon-pohonnya yang rindang, tapi di malam hari, tempat tersebut seakan-akan beralih rupa menjadi rimba angker di kisah-kisah dongeng. Tanpa mengindahkan kata-kata Airlangga, Laksita terus melenggang. Di dalam kesunyian, suara tas gitarnya yang beradu-adu dengan punggungnya terdengar jelas.

"Lu kalau mau naik angkot, ya, sana," balas Laksita agak ketus, tapi tenang. Ia sangat suka berjalan di jalan tersebut saat malam hari. Lampu-lampu merkuri yang menjulang menyemprotkan sinarnya ke kerimbunan daun, dan baginya ini sangat indah dan tidak boleh dilewatkan.

"Ta, gua, kan, disuruh Nyokap lu supaya jagain lu. Entar kalau lu kenapa-kenapa gua bisa kena getahnya," ujar Airlangga. Kecemasan membuat napasnya agak menderu.

"Ga, please, deh, gua hampir setiap hari ngelewatin jalan ini dan so far, gua belum pernah ngalamin yang aneh-aneh," balas Laksita tenang.

"Tapi, Ta, tempo hari ada yang dibegal di sini."

"Ga, please, lu berhenti jadi emak-emak yang cerewet," sergah Laksita.

Airlangga membisu. Sejak ia menyaksikan penampilan Laksita tadi, rasa segan mulai tumbuh di hatinya kepada perempuan tersebut. Kemampuan mulutnya menyemburkan kata-kata sinis kepada Laksita sedikit berkurang dan ini membuatnya agak kesal. Laksita kini seolah-olah memancarkan sinar, sejenis sinar yang melingkari lukisan kaca kuno santo-santo di gereja, sinar keagungan yang membuatnya tunduk.

Udara malam menusuk, dan pepohonan raksasa di sepanjang trotoar menambah rasa dingin, seakan-akan mereka memiliki mulut yang mengembuskan napas sedingin es. Airlangga sedikit menggigil. Ia menyesal tidak membawa jaket. Jalan Taman Sari pada jam sepuluhan sebetulnya sesekali masih dilewati kendaraan-kendaraan, tapi tetap saja suara derunya yang silih berganti tidak dapat menghalau kesunyian dan kegelapan di jalan tersebut.

"Lu takut gua kenapa-kenapa, ya, Ga. Lu takut kehilangan gua?" goda Laksita. Tawa terkikik berderai dari mulutnya. Suara merdunya di panggung kini telah lenyap, berganti kembali dengan suaranya yang agak cempreng.

"Ya iya, lah, Nyokap lu kan ngasih amanat ke gua," timpal Airlangga kesal.

"Lu takut sama Nyokap gua, atau takut gua kenapa-kenapa?" sahut Laksita. Di dalam hatinya ada luapan kegembiraan sebab ia merasa berhasil mempermainkan Airlangga.

"Jelas gua takut kehilangan lu, Ta. Lu, kan, pacar gua," sahut Airlangga dengan diakhiri tawa terkekehnya yang menyebalkan. Laksita terdiam dan merengut, lantas mendelik kesal kepada Airlangga. Tawa sinis Airlangga sukses menguapkan luapan kegembiraannya.

Airlangga sebenarnya kadang-kadang juga melewati jalan tersebut sendirian di malam hari jika terpaksa, dan ia selalu dicengkeram ketakutan juga, tapi tidak sebesar sekarang. Kini ada Laksita di sampingnya, dan ia merasa berkewajiban menjaganya. Ini bukan cuma karena ia diberi amanat oleh Laksmi, tapi entah kenapa, meski ia tidak mau mengakuinya langsung kepada Laksita, kini ia mulai merasa bahwa Laksita adalah sesuatu yang penting baginya.

"Ta, harus gua akuin, lagu lu yang barusan itu bagus, gua salut sama lu. Gua kira lu bakalan ngemusikalisasi puisinya pake genre balada kontemporer kayak yang lainnya. Dua jempol buat lu dan temen-temen lu, deh," ujar Airlangga pelan. Ia pikir, perjalanan akan terasa singkat jika dilalui dengan bercakap-cakap.

"Cuma dua jempol? Harusnya empat, ditambah jempol kaki lu. Yah, Ga, gua cuma jengah aja, saban nonton musikalisasi puisi, pasti genrenya model begituan. Lebih jengah lagi kalo maksa-maksain ditambah unsur etnik, padahal enggak berhasil," timpal Laksita. Walaupun udara dingin, ia tetap terlihat santai.

Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang