"Ta, tunggu dulu sebentar."
Gilang berseru pelan sambil memasukkan helmnya ke dalam bagasi motor saat mendapati Laksita yang berjalan meninggalkannya di halaman parkir. Perempuan itu berbalik dan menunggu dengan hati yang resah tidak jauh dari pintu masuk kafe tersebut. Sesaat kemudian Gilang melangkah ke arahnya sambil memamerkan senyum lebar. Laksita membalas senyuman tersebut dengan terpaksa.
"Yuk, masuk," kata Gilang lembut, dan tanpa terduga, lelaki itu menggenggam pergelangan tangan Laksita. Sejenak perempuan itu tercekat kaget dan merasakan kekesalan yang merangkak di hatinya, tapi kemudian ia berhasil mengontrol dirinya. Dilepasnya genggaman tangan Gilang pelan-pelan sembari tersenyum. Lelaki itu sejenak memandang Laksita dengan raut malu-malu dan kikuk.
"Maaf, Ta," ujar Gilang lirih.
"Yuk, masuk, Lang," sahut Laksita, dan ia lekas-lekas memasuki pintu masuk kafe tersebut. Gilang mengekornya dengan langkah gontai. Ia mendapat firasat bahwa Laksita merasa tidak nyaman dengannya dan usahanya hari ini untuk menyatakan cinta kepada perempuan tersebut akan gagal. Sudah sejak lama ia merasa bahwa perempuan itu selalu merasa tidak nyaman saat berada di dekatnya.
Laksita tahu tempat ini. Kafe itu adalah salah satu tempat favoritnya di Bandung. Jika Gilang memang bermasud menyatakan cinta kepadanya, ia merasa bahwa keputusan Gilang memilih tempat itu sangat tepat. Sayang sekali, Laksita tidak mencintai Gilang, dan ia berandai-andai jika Airlanggalah yang menyatakan cintanya di kafe itu. Laksita segera membuang jauh-jauh pikiran ini. Dipandangnya rak-rak buku yang melingkungi ruangan kafe berkonsep perpustakaan tersebut. Memandangi buku-buku yang tersusun rapi di rak selalu memberinya perasaan tenang dan nyaman.
"Ta, aku ke kamar kecil dulu, ya. Kamu tunggu sebentar di sini," kata Gilang pelan. Laksita mengangguk dan lelaki itu bergegas pergi meninggalkannya. Laksita segera beringsut menuju salah satu rak dan memilah-milah buku yang akan dibacanya.
"Laksita?"
Laksita menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati seorang lelaki dengan tubuh jangkung dan dada yang bidang. Itu Dino, pemilik kafe tersebut. Laksita memang sudah sangat kenal dengan lelaki tersebut, sebab ia memang sering ke sana, dan Dino sama kutu buku dengan dirinya.
"Eh, Mas Dino, apa kabar, Mas?" sahut Laksita dengan sebuah buku tebal berbahasa Inggris tentang sejarah musik punk di tangannya.
Dino berjalan mendekati Laksita. "Baik, Ta, sangat baik. Kamu ke mana aja? Belakangan ini jarang nongkrong di sini."
"Ada aja, kok, Mas. Cuman lagi nyepi aja, hehehe."
"Lagi sepi atau lagi enggak ada duit, nih?" Dino tersenyum menggoda, "O iya, Ta, di halaman belakang lagi ada launching buku, tuh. Kamu enggak tahu?"
"Launching buku?"
"Ya, tuh, x-banner-nya, kan, ada di depan. Masa kamu enggak liat. X-banner-nya ada juga, kok, di pintu belakang. Kamu lihat aja, kali aja kamu tertarik."
Laksita mengangguk dan tersenyum, lalu meninggalkan Dino. Dari jauh, x-banner itu telah nampak, berdiri di pintu menuju halaman belakang kafe yang tadinya adalah sebuah rumah itu. Laksita bergegas mendekatinya dan segera membacanya. Ia tidak mengenal nama pengarangnya, tapi hatinya dicambuk kekagetan manakala membaca judul novel tersebut:
"Kalista dan Serangga Asparagus."
Kalista, Laksita. Serangga Asparagus. Laksita terdiam sebentar dan segera melayangkan pandangannya ke arah halaman belakang di luar. Untuk yang kedua kalinya, kekagetan mencambuk hatinya. Kali ini lebih keras. Ia melihat Airlangga, dan lelaki itu juga memandangnya dengan raut kaget di wajahnya.
***
Airlangga terpana dengan tubuh yang kaku, seperti seorang pemburu yang melihat binatang buruannya dan merasa bahwa satu gerakkan kecil dari tubuhnya akan membuat hewan tersebut lari. Benar saja. Laksita, "hewan" langka dan hanya satu-satunya yang selama ini telah ia buru itu berbalik dan pergi saat Airlangga mengambil ranselnya di atas meja.
"Mas, saya pergi dulu sebentar. Mas yang handle dulu," ujar Airlangga kepada moderator. Moderator itu menganggukkan kepalanya dengan wajah bingung saat mendapati kerisauan di wajah Airlangga. Airlangga segera melesat melewati para pengunjung. Ibunya hanya bisa memandangnya dengan heran.
Saat Airlangga memasuki pintu belakang, didapatinya Laksita sudah tidak berada di sana. Tergopoh-gopoh ia setengah berlari menuju pintu depan saat dilihatnya Laksita yang berjalan tergesa-gesa di pelataran parkir. Saat melewati ruangan buku, seorang lelaki yang baru saja keluar dari toilet menubruknya. Ia adalah Gilang.
"Maaf, Mas, maaf...," ujar Airlangga dengan napas yang tersengal-sengal. Gilang yang masih dalam posisi jatuh terduduk baru saja hendak meluapkan amarahnya saat Airlangga melesat secepat kilat pergi meninggalkannya. Sambil mengeluh ia bangkit, dan hanya bisa celingak-celinguk dengan wajah bingung saat menyadari bahwa Laksita sudah tidak berada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
RomanceIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...