Dengan handuk yang tersampir di bahunya, pagi itu Airlangga duduk di kursi meja dapur yang biasa dijadikan meja makan. Dipandangnya ibunya yang baru saja pulang dari pasar dan membereskan kantong belanjaannya. Sehabis mengalami mimpi buruk malam tadi, ia tidak mampu melanjutkan tidurnya, dan ini membuat kepalanya terasa pening.
"Gimana tadi jualannya, Bu?" tanya Airlangga sambil memijit-mijit keningnya.
"Enggak abis, Ga, malahan nyisa banyak. Ibu enggak tahu, belakangan ini dagangan Ibu kurang laris," balas Hasna lirih, lalu menggeret kursi dan duduk di hadapan Airlangga. "Gimana novelmu, sudah beres?" Sambung Hasna seraya menatap anaknya dengan sayu. Butir-butir keringat di keningnya berkilau tertimpa cahaya matahari pagi yang menembus lubang udara.
"Belum, Bu, belum beres," kata Airlangga dengan nada mengeluh. Menghadapi pertanyaan seperti ini di pagi hari, ditambah kenyataan bahwa dagangan ibunya kurang laku belakangan ini, membuatnya terasa seperti dihantam palu yang sangat besar, dan ini membuat rasa peningnya bertambah.
Hasna mendesah panjang dengan tatapan sayu yang tertuju kepada anaknya. "Ga, tadi Ibu ketemu teman SMA Ibu di pasar. Rupanya sekarang dia sukses jadi penyalur tenaga kerja buat ke kapal-kapal pesiar. Dia nawarin kamu kalau-kalau berminat kerja di kapal. Gajinya besar, Ga," kata Hasna berhati-hati.
Palu yang lebih besar menghantam Airlangga. Ditatapnya ibunya dengan murung seraya satu dengusan panjang. Ia sudah benar-benar kehabisan akal. Sudah berkali-kali ia menjelaskan kepada ibunya bahwa menulis bukanlah pekerjaan yang gampang, butuh waktu, waktu untuk melamun dan merenung mencari ide yang selalu disalahartikan oleh ibunya sebagai tindakan membuang-buang waktu dengan percuma. Hasna tidak pernah mengetahui bahwa di balik wajah datar dan dinginnya, Airlangga sebetulnya sangat menyayanginya. Bahwa Airlangga bertekad akan mendongkrak ekonomi keluarganya dengan penghasilan yang ia dapat jika ia sudah menjadi seorang penulis yang sukses.
"Bu, kan, udah Angga bilang berkali-kali, Angga mau fokus menulis. Angga mau sukses dari bakat Angga, Bu. Ibu sabar aja, sebentar lagi, Bu, sebentar lagi novel Airlangga pasti beres. Pasti, Airlangga janji," sahut Airlangga dengan nada memelas. Sebentar lagi? Kapan? Keluh Airlangga di dalam hatinya. Bahkan sampai sekarang ia belum mendapat ide cerita untuk novelnya. Laptop yang ia dapat dari ibunya setelah sebelumnya memelas dengan sangat disertai janji muluk-muluk bahwa suatu saat ia akan menjadi penulis terkenal kini tidak ubahnya seperti sebuah mesin yang dipenuhi oleh janji dan omong kosongnya. Dipandangnya Hasna dengan saksama. Gari-garis kerut pada wajah Hasna dan bahunya yang membungkuk membuat hatinya merasa diiris-iris. Betapa inginnya ia membahagiakan ibunya itu, tapi nanti, nanti, kalau ia sudah sukses, kalau novelnya sudah menjadi best-seller. Tapi kapan? Ibunya berkali-kali mengeluhkan kondisi rumahnya yang sudah lapuk. Beberapa hari yang lalu, Hasna mengeluh soal plafon rumah yang sudah bocor di sana-sini, dan betapa inginnya ia merenovasi rumahnya. Ah, betapa inginnya Airlangga melepas beban di pundak ibunya!
"Ya sudah. Ibu tidak memaksa kamu. Ibu selalu mendoakan kamu supaya sukses," ujar Hasna sembari merangkul pergelangan tangan Airlangga di atas meja. Dilemparkannya senyuman hangat kepada anaknya, lalu ia beranjak menuju kamarnya. Airlangga terpaku di kursinya dengan kepala yang semakin pening.
***
Hari ini Kirani akan pulang ke Bandung, dan seperti biasanya, setiap ke Bandung, ia tidak pernah menyempatkan diri bertemu Airlangga. Tapi belakangan ini, sejak Airlangga tidak pernah lagi me-like postingan-nya dan mengiriminya puisi, tiba-tiba saja Bandung terasa menjadi agak istimewa untuknya. Belum pernah rasa ingin pulangnya sebesar ini. Sepanjang perjalanan, Airlangga muncul di benaknya. Seperti apa rupanya sekarang? Kirani terus bertanya-tanya di dalam hati. Lima tahun ia tidak berjumpa dengan pemujanya tersebut, dan selama itu pula ia belum pernah merasakan kerinduan kepadanya seperti sekarang. Rindu? Kirani mendesah pelan, aroma pengharum mobil yang bercampur dengan parfum dari kemeja yang dipakainya mekar memenuhi mobil. Matahari mulai unjuk gigi dengan sinarnya yang menyengat. Kirani mengambil kacamata hitamnya dan memakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
RomanceIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...