17. Jeratan Kalung

267 22 0
                                    

"Ada yang sebenernya mau gua omongin sama lu."

Kirani berbicara manja sambil memandangi liontin kalung berbentuk huruf "h" besar yang dipegangnya. Liontin tersebut bergerilap-gerilap tertimpa cahaya dari lampion yang tergantung di atasnya. Kirani membelinya di Jakarta, sepasang dengan kalung lainnya yang ia berikan kepada Himawan, sebuah kalung dengan liontin berbentuk huruf "k" besar, inisial nama pacarnya itu.

"Apa?" tanya Himawan dengan perasaan agak risih, sebab Kirani yang duduk di sampingnya, dan menyandarkan kepalanya ke bahunya dengan manja. Ketika ia merasakan pelipis Kirani yang menempel di bahunya juga ujung-ujung rambut panjang perempuan itu yang menggelitiki batang lengannya, rasa bersalah di hatinya semakin membesar, rasa bersalahnya sebab telah mengkhianati sahabatnya sendiri. Ia merasa Airlangga sedang mengawasinya, membuat jantungnya berdegup kencang. Ya, Airlangga bisa datang kapan saja ke kafe tempatnya bekerja itu dan mendapatinya bermesraan dengan Kirani. Perempuan itu datang di tempat dan waktu yang salah. Ia juga merasa risih dengan kalung yang diberikan oleh Kirani. Selain tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu, ia merasa ketika kalung tersebut melingkar di lehernya, Airlangga muncul di hatinya, menyoraki dan menyebutnya pengkhianat hina yang tidak tahu malu. Kalung itu terasa menjerat batang lehernya. Bahkan suasana yang kafe sedang sepi tanpa pengunjung seperti ini sama sekali tidak memancingnya untuk bermesraan dengan Kirani. Mas Tarma sedang tidur. Kafe benar-benar sesepi kuburan. Potongan messy wave pada rambut Kirani yang biasanya selalu membangkitkan gairahnya kini tidak membekaskan kesan apa pun di benaknya. Cita rasa sensual paduan aroma buah delima, black violet, anggrek hitam, dan mahoni dari euphoria perfume by Calvin Klein yang membuar lembut dari atasan ruffle hem blouse tanpa lengan Kirani hanya meninggalkan rasa mual di perut Himawan. Rasa cemas dan bersalah telah mengerutkan gairah lelakinya.

"Siapa cewek yang lu bilang mau lu jodohin sama Airlangga?" tanya Kirani, sementara ia mengenang kembali pertemuan tidak terduganya dengan Airlangga di rumah Laksita. Ia tersenyum ketika membayangkan Airlangga yang baginya nampak agak kikuk saat itu, apalagi ketika ia berkata bahwa ia belum mempunyai kekasih. Selain demi menjaga perasaan Airlangga, hal tersebut dilakukannya sebab ia masih ingin Airlangga mengirimkan puisi-puisi kepadanya. Kirani berlagak seakan-akan memberi Airlangga peluang demi meraih hatinya, seolah-olah selama ini ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk membalas cinta Airlangga. Kirani merasa cemburu ketika mendapati tangan Airlangga yang menggenggam tangan Laksita tempo hari. Ia cemburu ketika menduga bahwa Laksitalah yang membuat Airlangga lama tidak mengiriminya puisi belakangan ini.

"Ada, deh, pokoknya, junior gua di kampus," ujar Himawan lirih.

"Siapa? Laksita?" tanya Kirani seraya mengangkat kepalanya dari bahu Himawan, dan memandang lelaki tersebut.

"Kok elu tahu, sih?" tanya Himawan dengan wajah kaget.

"Ya jelas tahulah. Laksita, kan, Sepupu gua, Wan," Kirani menjawab datar, lalu ia berbicara kembali, "Ya pilihan elu tepat. Mereka cocok banget. Sama-sama aneh, hihihi."

"Lu susah banget kalau dibilangin, Ni. Udah gua bilang, jangan pernah ngehina sahabat gua!"

"Lah, kok elu malah marah gitu sih? Lagian, elu sendiri, sahabat kok ditikung."

Himawan terperanjat ketika kata-kata dengan nada menghina tersebut barusan terluncur dari mulut Kirani. Mereka terdiam dibisukan amarah masing-masing. Sementara amarah Kirani adalah amarah biasa dari seorang perempuan egois yang merajuk meminta perhatian, amarah Himawan lebih rumit daripada itu. Ia memang marah kepada Kirani, tapi lebih dari itu, ia marah kepada dirinya sendiri. Suatu amarah yang membuatnya merasa terhina.

Himawan masih terdiam, dan kini dapatlah ia merasakan api cintanya kepada Kirani menjelma sulur-sulur berduri yang menjerat sekujur tubuhnya, memberinya rasa sakit atas pengkhianatannya kepada Airlangga. Kenyataan bahwa Laksita adalah sepupu Kirani memberinya bayangan-bayangan yang mengerikan. Dibayangkannya bahwa cepat atau lambat Laksita akan membocorkan hubungan cinta rahasianya dengan Kirani kepada Airlangga. Dibayangkannya pula jika akhirnya Laksita mengetahui usaha perjodohan tersebut, dan ia akhirnya akan meniggalkan Airlangga dengan perasaan terluka sebab merasa hanya dijadikan pelarian oleh Airlangga. Dipandanginya Kirani yang duduk merengut, dan kini ia merasa perempuan tersebut begitu hina di matanya.

"Kalau elu berani lagi ngejelek-jelekkin Airlangga, kita putus."

Himawan akhirnya angkat bicara. Suaranya berat dan tersendat-sendat.

"Kok elu ngomongnya gitu sih?" Kirani menjawab setengah berteriak. Matanya nyalang menatap Himawan yang menundukkan kepalanya dengan wajah yang merah padam disapu amarah.

"Ya udah, kita putus. Lagian, gua udah enggak tahan sama cowok yang enggak romantis kayak elu," semprot Kirani dengan berapi-api, lalu ia diam, seperti memikirkan sesuatu. "Jadi cowok itu yang romantis, kayak Airlangga!"

Mendadak Kirani terdiam dengan wajah yang pucat. Ia menyesali apa yang baru saja diucapkannya. Ia hanya mencoba memanas-manasi Himawan. Selama ini ia tidak pernah memberitahu orang lain bahwa ia sebetulnya menyukai puisi-puisi yang diberikan Airlangga.

Tidak tahu harus berbuat apa, Kirani merenggut tas half moon-nya, lalu berdiri sambil mendengus. Beberapa saat ia terdiam, berharap Himawan mencegahnya pergi, namun ketika ia mendapati bahwa Himawan tetap diam, akhirnya ia beranjak pergi dengan tangisan yang tertahan. Baru saja berjalan beberapa langkah, Kirani berhenti dengan tubuh yang kaku dan mata yang terbelalak oleh rasa kaget ketika dilihatnya seseorang yang berdiri di ambang pintu. Saat Kirani datang ke tempat itu, ia lupa menutup kembali pintunya.

"Kalian tenang aja. Enggak usah putus. Kalian cocok, sama-sama aneh."

Meski sosok tersebut berbicara tenang dan datar, namun Kirani dapat menangkap kemarahan yang menyala-nyala di mata sosok tersebut, bagaikan sepasang mata harimau yang mengawasinya dari balik semak-semak dan mengambil ancang-ancang hendak menerkamnya. Himawan tersentak ketika suara tersebut tertangkap oleh telinganya. Degup jantungnya seakan-akan berhenti sebentar, dan ketika ia berdiri membalikkan tubuhnya, memandang sosok tersebut, jantungnya kembali berdegup, lebih kencang, seperti seekor kuda loyo yang didera cambukan kasar dari kusirnya. Di ambang pintu, Airlangga memandangnya dengan tajam. Himawan dan Kirani sama terpana ketika Airlangga berjalan santai melewati mereka, memandangi mereka bergantian dengan sebuah senyuman sinis khasnya yang menghina, lalu memasuki dapur.


Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang