Hujan menderas. Listrik mati. Sesaat sebelum petir menggelegar, sebersit kilat menerobos lubang udara, tepat mengenai wajah dari wayang golek Bima yang terpajang di dinding ruang tengah rumah Laksita. Bima, banteng Pandawa yang pendiam, Herakles dari epos Mahabharata yang kekuatannya konon setara dengan seribu ekor gajah, wajah garangnya yang bercat biru berkilat sedetik saat terpapar cahaya petir, namun membekaskan kesan menyeramkan yang cukup lama di hati Airlangga. Setelahnya hening dan gelap kembali. Hanya bunyi hujan, napasnya, dan Laksita yang sibuk mencari lilin di lemari ruang makan, disertai keluhan-keluhan soal ibunya yang entah di mana menyimpan lilin tersebut. Sebentar kemudian terdengar gesekkan batang korek api, disusul cahaya jingga yang menghambur dari ruang makan. Airlangga bersyukur. Waktu kecil ia memiliki ketakutan tersendiri terhadap kegelapan, dan rupanya sisa kecil ketakutan itu masih menjejak pada masa-masa dewasanya. Di sofa tempatnya duduk, ia menghela napas panjang manakala Laksita melangkah memasuki ruangan dengan lilin di tangannya. Wajah Laksita yang tersorot nyala api bagaikan seraut topeng berwarna jingga yang mengambang di kegelapan, dan Airlangga sedikit terperanjat kaget melihatnya. Ia tercekat dan sesaat bulu kuduknya meremang, lebih-lebih di luar angin bagaikan kerasukan setan, berputar-putar kencang dan menimbulkan bunyi pada segala benda yang dilandanya. Aneh, padahal sore tadi cuaca sangat cerah.
"Hujannya gede, Ta, gua pulangnya gimana, ya?" tanya Airlangga dengan sedikit gemeletuk kedinginan di giginya. Dibuatnya suaranya sejantan mungkin, supaya ketakutannya akan suasana gelap tidak nampak bagi Laksita. Tapi rupanya Laksita cukup pintar meneliti perubahan gurat-gurat di wajah lelaki itu dan ia tersenyum. Disimpannya lilin bertelekan kaleng bekas biskuit di tangannya ke atas meja dan ia duduk di hadapan Airlangga.
"Kenapa lu? Muka lu pucet," ujar Laksita seraya menyilangkan kakinya dengan santai. Dalam hati kecilnya ia mengakui dengan tulus bahwa wajah Airlangga yang tersiram cahaya lilin nampak menarik. Rambut sebahunya yang senantiasa tidak rapi, kantung mata yang tebal, bibir yang mengatup, dan sorot matanya yang tajam mengingatkannya pada gambar potret Beethoven, suatu raut yang mengesankan keangkuhan, kecerdasan, dan kemurungan yang tegas, kaku, dan misterius. Jika semua raut ini digabungkan, ia mewujud satu raut saja bagi Laksita: seksi, lebih seksi daripada Himawan. Ini ditambah tulang hidung Airlangga yang asimetris, suatu hal yang menegaskan keunikan lelaki tersebut di mata Laksita.
"Enggak, gua cuma mikirin cara pulang. Hujannya gede banget, Ta. Jarak dari sini ke jalan, kan, jauh banget, belum lagi gua harus nungguin angkot," kata Airlangga dengan suara berat dan cenderung mendeham.
"Hmmm," Laksita mendeham panjang dengan wajah cuek. Dalam pada itu, jam antik di dinding mendentangkan bandulnya, memecahkan keheningan yang pekat dan berat. Serempak mereka melayangkan pandangan kepada jam tersebut. Dalam cahaya lilin yang terbatas, jarum jam nampak samar-samar, menunjuk angka sepuluh tepat. Ada sedikit kekagetan di hati mereka masing-masing, menyadari bahwa mereka telah menghabiskan waktu yang cukup lama berdua-duaan sejak tadi sore, waktu yang cukup lama untuk sepasang manusia yang saling membenci. Membenci? Benarkah itu? Sebentar mereka saling memandang, mencoba memahami rasa kesingkatan waktu ini dan mereka sama terpaku dalam suatu perasaan yang ganjil. Gelegar petir yang tak disangka memecahkan keterpakuan di antara mereka.
"Ta, gua..., gua nginep di sini, ya..." ujar Airlangga agak tersendat-sendat. Suaranya sedikit tertelan oleh derap langkah air hujan di atas genting. Laksita terdiam. Aneh benar, dalam balutan bunyi hujan yang deras, ia dapat menangkap bunyi jantungnya sendiri yang entah kenapa berpacu lebih kencang dari biasanya. Seorang lelaki menginap di rumahnya ketika ibunya tidak ada? Pertanyaan ini mengusik hatinya dan ia terdiam dalam kebimbangan. Namun entah kenapa belum sempat kebimbangan itu lenyap, tanpa sadar ia menganggukkan kepalanya. Sepasang mata Airlangga, dengan nyala lilin yang berpendar di dalam pupilnya yang hitam bagai melesatkan suatu daya hipnotis kepadanya. Terasalah benar kepadanya kini bahwa ia berada di dalam kekuasaan mata Airlangga. Namun begitu, cepat-cepat disamarkannya rasa terkuasai tersebut dengan raut wajah cueknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangga Asparagus
RomanceIni adalah sebuah kisah sederhana tentang makna dari cinta sejati, dan bagaimana Tuhan, dengan takdirnya yang misterius dan penuh kejutan membimbing dan mempertemukan hati sepasang manusia... Ada Airlangga, Airlangga Lazuardi, seorang lelaki "menyeb...