15. Bunga yang Mekar di Tempat yang Jorok

390 19 0
                                    

"Ga, tunggu dulu sebentar."

Airlangga berdiri mematung sambil memandang Laksita. Perempuan itu berjongkok membelakanginya di pinggir trotoar yang menghadap parit kecil. Mereka sedang dalam perjalanan pulang sehabis mengunjungi toko buku, ketika pandangan Laksita tertarik kepada kuntum-kuntum bunga yang tumbuh dari tanaman rambat liar. Tanaman tersebut tumbuh menjulur dari ketinggian pohon di trotoar Jalan Ganesha depan ITB, turun hingga ke bawah, meraih tumpukan kantong kresek berisi sampah di tanah yang lembap, bersembunyi di balik bangku taman yang terbuat dari besi berkarat dengan cat hijaunya yang sudah terkelupas di sana-sini. Siang itu cuaca tidak terlalu panas, selain karena matahari yang terus-menerus ditutupi awan, juga karena memang jalanan di depan kampus tersebut merupakan salah satu area hijau di Bandung. Pepohonan besar membuat cuaca sepanas apa pun menjadi terasa sejuk. Para mahasiswa lalu lalang bagaikan kuda yang berjalan dengan bebannya masing-masing. Laksita bangkit kembali, berbalik dengan anggun dan memandang Airlangga. Poninya tersibak diembus angin, menampilkan sapuan basah dan berkilat dari keringat di dahinya. "Lihat, cantik, kan? Sulit dipercaya kalau mereka mekar di tempat yang jorok kayak begini."

Dengan senyum yang terkembang, Laksita menunjukkan bunga berwarna putih tersebut kepada Airlangga. Lelaki tersebut mengangguk dan tersenyum. Overall short jeans dan sepatu flat loafers biru berpita yang dipakai Laksita, ditambah rambutnya yang seperti biasa, tergelung dengan sematan pensil dan wajahnya yang polos tanpa riasan membuat senyum perempuan itu nampak segar di mata Airlangga. Senyum yang tulus dan riang, senyum yang kekanak-kanakan. Laksita lalu membuka ranselnya, dan memasukkan tiga bunga ke dalam sebuah wadah plastik kecil yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Wadah itu memang ia gunakan khusus sebagai tempat menyimpan bunga dan dedaunan yang akan dikeringkannya.

"Yuk, jalan lagi," ujar Laksita seraya menyeka keringat yang membasahi pelipisnya dengan punggung tangannya.

Airlangga bergeming. Disapunya wajah Laksita dengan pandangannya yang murung dan berdenyar-denyar seraya senyuman yang membuat Laksita merasa canggung. Mereka terdiam beberapa saat sampai akhirnya mereka melanjutkan kembali perjalanannya.

"Ta, lu inget, kan, waktu kemarin Mas Ratno bilang kalau banyak lukisan-lukisan abstrak bikinan temen-temennya yang sulit dimengerti, bahkan sulit dirasakan keindahannya juga?" kata Airlangga sambil memandang lurus ke depan.

"Ya, inget, lah."

"Yah Laksita, enggak semua hal di dunia ini harus dimengerti, tapi cukup dirasakan saja."

"Ya, gua setuju."

"Seperti cinta, misalnya."

Laksita memalingkan wajahnya kepada Airlangga. Lelaki itu nampak tersenyum murung sementara pandangannya tetap terlempar lurus ke depan dengan mata yang berdenyar-denyar. Ekspresi wajah Airlangga membuatnya seperti sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh Laksita, sesuatu yang mengagumkan dan membuat lelaki itu terpesona.

"Laksita, ada yang mau gua omongin sama lu," ujar Airlangga sambil menghentikan langkahnya dan membuat posisi tubuhnya berhadap-hadapan dengan Laksita.

"Apa?" timpal Laksita sembari membiarkan matanya beradu dengan mata Airlangga. Kini ia bisa melihat denyar-denyar di mata lelaki itu dengan jelas, bernaung di bawah sepasang alisnya yang agak mengernyit.

"Jangan sekarang, nanti aja di rumah lu."

Laksita menunjukkan raut wajah yang sama dengan Airlangga ketika ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Melihat raut wajah Airlangga yang seperti ini, ia merasa bisa membaca akan hal yang akan dibicarakan oleh Airlangga, dan sekejap ia merasakan ledakan-ledakan kembang api di langit hatinya. Mereka lalu kembali melangkah beriringan.

Serangga AsparagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang