Episode 17

7.7K 425 37
                                    

"Kemarin loe liat Tiara kan?" kataku mengalihkan pembicaraan.

Dia hanya mengangguk dan merubah ekspresinya dengan tersenyum. Keheningan pun terjadi sekian lama.

"Gue yang salah sih" kataku membuka pembicaraan "coba aja gue ga tidur sama Chintya" kataku sambil mengacak-acak rambut.

"Kalau bilang salah sih, gue yang lebih salah mempertemukan kalian lagi" katanya berusaha menenangkanku

"Dia yang salah, udah punya suami balik aja seenak jidat" kataku sambil mematikan televisi agar perbincangan kami terfokus.

"Semua itu udah terjadi bro, kita ga bisa ngulang atau nyalahin diri kita atau dia, yang kita bisa adalah mengantisipasi supaya kejadian ini ga keulang lagi."

"Loe bener, tapi apa yang bisa gue lakuin buat Tiara balik?"

"Jodoh ga kemana, kalau dia emang punya perasaan ke kamu, dia pasti ngerasa kehilangan dan balik kesini, kalau ga balik, find another girl, dia bukan jodohmu. Gue yakinnya sih dia bakal balik, so tunggu sampe saatnya tiba"

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasannya. Aku tahu dia ingin menceritakan kisahnya yang membuatnya ingin mabuk semalam, tapi aku tak ingin memaksanya jika dia bimbang untuk bercerita.

"Eh gue bawa kaset gta lima nih, wanna play?" katanya sambil mengeluarkan sebuah kaset dari dalam tas.

"Wihh, ayo ayo! Nyalain gih!" kataku menyuruhnya menghidupkan psku.

"Oke let's play" katanya setelah menghidupkan psnya dan duduk di sampingku.

"Kok gini bro? Loe pencet apaan tadi?" kataku karena layar menunjukkan eror.

Aku mengganti dengan kaset yang lain, tetap sama. Mungkin karena lama ga di pake rusak nih ps.

Aku mematikan ps dan duduk kembali. Saat duduk, perutku berbunyi menandakan lapar.

"Hahaha bilang dong kalau laper. Gue masak dulu ye bos!" katanya sambil berdiri menuju dapur. "Makanya belajar masak" ledeknya.

Memang aku tidak bisa masak, sebelumnya aku selalu meminta orang untuk mengirimkan makanan, tapi setelah bersama Tiara kusudahi itu karena setiap hari dia memasakkan untukku.

Dan sekarang yang kuharapkan hanya Riski. Dia jago masak sebenernya, sekelas Restoran di Hotel Bintang lima, tapi karena malasnya melebihi bakatnya, dia jarang melakukan itu.

"Thank you, my favorit Chef" kataku saat Riski meletakkan piring di depanku.

"Yakin gue yang favorit?" katanya sambil duduk di depanku dan melahap makanannya.

"Loe tuh bisa jadi Chef, mana ada yang bisa ngalahin masakan loe?"

Dia hanya tersenyum ke arahku. Yang menyebabkan dia malas sebenarnya kejadian yang menimpa almarhum papanya. Papanya seorang chef, saat bekerja di sebuah restoran dulu, kelalaian bekerja teman papanya membuat kebakaran hebat dan mengakibatkan banyak korban jiwa.

Kata orang mah bakat jangan disia-siakan, tapi apa daya? Sebagai seorang sahabat aku tak bisa memaksanya untuk berbuat sesuatu.

Setelah makanan kami habis, di pergi ke sofa dan menonton televisi lagi.

"Hei, kok ditinggal aja bro?" kataku menghentikan langkahnya.

"Gue udah masak, ya giliran loe yang nyuci" katanya berlalu meninggalkan meja makan.

Bener juga kata dia. Aku pun menuju arah dapur untuk mencuci piring.

.
.
.
.
.

Hpku berbunyi membangunkanku dari tidur. Kulihat tertera di layar ada panggilan dari sekretarisku.

"Ya din?" kataku setelah mengangkat telponnya.

"Ibu hari ini kerja kan? Banyak dokumen yang harus dikerjakan"

"Ga usah panggil ibu bisa nggak? Panggil ibu pas di kantor aja plus ada yang lain, kalau berdua doang just call me Rei. Capek gue dengernya" kataku kesal, pikiranku masih kacau jadi Dinda yang kena semprot.

"Maaf bu, eh Rei"

"Gue siap-siap yak" kataku dan menutup telponnya.

Setelah bersiap-siap aku keluar apartemen, rencana aku akan cari sarapan dulu baru ke kantor.

Saat menutup pintu apartemen, kudengar pintu lift terbuka. Aku penasaran siapa yang ke lantai ini pagi-pagi. Dan tentunya aku tidak berharap itu Tiara, karena pasti kecewa lagi.

Aku melihat ke arah lift, ternyata itu papanya Tiara.

"Good Morning Rei" sapanya kepadaku dan menjabat tanganku.

"Selamat pagi"

"Terima kasih banyak ya, Rei. Kamu udah jagain Tiara. Dia keliatan seger waktu dia nyampek kemarin. Aku lagi ngambil barang Tiara yang ketinggalan. Salam buat mama kamu ya" katanya menjelaskan.

"Terima kasih kembali om, sama tetangga kan harus saling membantu" kataku sambil tersenyum "Yaudah saya berangkat kerja dulu ya, takut telat nanti" lanjutku dan menjabat tangan papanya Tiara.

Aku segera memasuki lift dan pintu lift tertutup.

"Wait, salam buat mama? Om Tjandra kenal sama mama? Kok bisa?" kataku seolah kepada diri sendiri.

Setelah beberapa saat, ekspresi tersenyumku berubah menjadi raut kesal dalam sekejap. Seger pas dateng? Kan dia sama laki-laki ga jelas itu, makanya wajahnya sumringah. Memikirkannya membuat hatiku sakit lagi.

Aku segera melajukan mobilku menuju kantor, dengan raut wajah penuh amarah.

Selama di kantor pun Dinda terkena amarahku setiap saat. Ketika istirahat, aku keluar ruanganku dan ingin mencari makan di luar.

Kulihat Dinda sedang menangis di mejanya. Aku sudah membentaknya berkali-kali hari ini.

Ku dekatinya, ku usap rambutnya dengan lembut.

"I'm sorry. Can we lunch right now?" dia mengangkat kepalanya, menghilangkan bekas air matanya, dan tersenyum ke arahku.

Rei, kenapa ga profesional banget? See? Karyawan loe yang jadi korban amukan loe, loe harus berubah! Ga boleh mikirin Tiara terus!

.
.
.
.
.

Tiara Pov

"Capek banget yaa kerja kaya gini" keluhku sambil merenggangkan ototku.

Aku diutus papa untuk melanjutkan bisnisnya, bukan pekerjaan yang aku inginkan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus terbiasa dengan ini semua.

Hpku bergetar, ku lihat ternyata ada telpon dari papa.

"Hallo, pah?" kataku setelah mengangkat telepon.

"Ini yang mau dibawa ga semua kan? Masa papa bawa semuanya?"

"Enggak pah, itu Tiara butuh album foto, disamping tempat tidur"

"Oh yang warna ungu ini?"

"Iya pah"

"Oiya, tadi papa ketemu sama Rei"

"Oh" jawabku singkat, karena aku masih memikirkan kejadian dia tidur dengan mantannya, entah lah mantan atau apa, tak ingin ku pikirkan, lagian dia bukan siapa-siapa.

"Yaudah papa tutup yaa, semangat kerjanya"

Telpon pun terputus, aku kembali bekerja dengan tumpukan dokumen ini. Gimana papa sama Rei bisa tahan dengan ini semua? Ngapain juga mikirin Rei lagi? Ra, lo harus lupain dia!





Bersambung

Jangan lupa add to library, vote, comment and share yaa. Buat kelanjutan ceritanya.

Don't be silent reader.

Biar tambah semangat juga nulisnya.

Terima kasih telah membaca.







Make Me Smile (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang