Prolog

544 127 169
                                    

Udara pagi sukses membangunkan Jenni dan membuatnya tersadar akan sekolah. Ya, ini adalah sekolah baru Jenni untuk keempat kalinya. Pekerjaan ayahnya yang menjadi dalang dari semuanya.

Ia dan ayahnya pindah ke suatu ibukota di Provinsi Sulawesi Selatan. Yup, Ia pindah ke Makassar, sebuah kota besar nan indah yang juga memiliki banyak wisata indah. Sebuah kota yang akan memulai perjalanannya yang seru nan misterius.

Pagi ini, Jenni bangun dengan sangat cepat. Ia tak ingin terlambat di hari pertama sekolahnya. Ia bahkan tak membutuhkan alarm untuk membantunya mengakhiri mimpi indahnya.

Setelah mandi dan membersihkan tubuhnya, Ia segera menyiapkan segala peralatan sekolahnya. Ia memang adalah tipe cewek yang selalu menyiapkan buku dan peralatan sekolahnya di pagi hari. Setelah merasa semuanya telah siap, Ia pun merangkul tas birunya itu dengan sangat bersemangat.

Let’s start a new journey at this school,” katanya sambil bergegas turun dari kamarnya.

“Pagi sayang,” sambut Patrick, Papa Jenni, melihat anaknya yang sudah rapi.

Selain Jenni, Patrick juga terlihat sangat rapi. Ia telah mengenakan jas hitam dengan celana kain yang kontras dengan warna jasnya. Kini, Ia yang telah duduk di depan meja makan tengah tersenyum menatap anak kesayangannya itu.

Sampai detik ini, Ia sendiri masih tak menyangka bahwa Ia bisa menjadi Ayah yang baik untuk anak kesayangannya ini. Awalnya, Ia tak tahu bagaimana cara menjadi seorang ayah yang baik. Namun, ketika melihat anaknya yang sudah tumbuh besar, Ia kecap kali ingin meneteskan air matanya.

“Papa curang!”

“Loh? Kok curang?” tanya Patrick keheranan mendengar anaknya.

Pasalnya, Ia dan anaknya memang sangat sering bercanda dan memperdebatkan hal-hal yang sangat tidak penting, mulai dari perdebatan tentang siapa yang akan membawa barang belanjaan, atau tentang kendaraan apa yang akan mereka gunakan, bahkan hingga perdebatan tentang sempak siapa yang paling bersih.

“Ya curang lah. Seharusnya nih ya, Jenni yang datang duluan, terus Jenni juga yang sapa Papa duluan,” protes Jenni.

“Siapa cepat, dia dapat.” balas Patrick sambil terkekeh melihat anaknya yang sekarang sedang memanyunkan bibirnya kesal.

“Tapi kan Pa, dimana mana--“

“Sarapan sudah siap!” potong Bi Ines yang datang sambil membawa nampan yang berisikan dua gelas susu dan beberapa potong roti yang telah diolesi selai coklat.

Bi Ines sendiri adalah asisten rumah tangga mereka. Ia yang kini telah berkepala empat, sudah bekerja bersama Patrick selama 10 tahun. Jadi, sudah tak heran lagi kalau Bi Ines menjadi orang kepercayaan Patrick.

“Kan.. Papa sama Bibi selalu kerja sama,” gumam Jenni kesal yang diikuti dengan pecahnya tawa mereka. Ayahnya sendiri sangat suka apabila Jenni sudah kalah seperti ini. Ketika melihat ekspresi kesal anaknya seperti ini, Ia merasa segala masalahnya menjadi ringan untuk sesaat.

“Siapa yang kerja sama? Gini ya sayang, kerja sama itu harus punya tujuan yang menguntungkan. Kalau kerjain kamu? Apa untungnya coba?” tanya Patrick yang sedari tadi tersenyum lebar.

“Ya banyak untungnya! Pertama, Papa pasti senang. Pasti Papa nanti lompat-lompat karna udah bully Jenni. Kedua, pasti papa akan jadiin Jenni bahan cerita sama teman-teman Papa. Ya kan? Ya kan? Ketig--”

Ucapannya terpotong dengan jeritan Papanya yang terlihat kesakitan. Jenni yang sangat sayang dengan orang tuanya itu mendadak panik karena tak tahu penyebab kesakitannya.

“PAPA! Papa kenapa!?” tanya Jenni panik melihat kondisi Patrick yang sedang memegang perutnya sambil terus mengerang kesakitan.

“Arggghhhh,”

“Pa!? Bi Ines bantuin Jenni dong! Papa kenapa ini!”

Jennifer semakin panik melihat keadaan Papanya sekarang. Ia ingin membantu, tapi Ia juga tak tahu harus berbuat apa.

Melihat Jenni yang semakin panik, Bi Ines pun angkat bicara dengan sedikit gugup “S-se-sebenarnya--”

“Ada apa, Bi!?” potong Jenni dengan nada yang meninggi karna semakin panik. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada orang yang sangat Ia sayangi.

Akhirnya, sebuah cairan bening sukses terjatuh dari kelopak mata gadis itu. Dengan nada yang lebih halus, Ia pun kembali bertanya kepada bibinya.

“Bi.., Papa kenapa...?”

Jenni memang adalah anak yang sangat mudah menangis, apalagi untuk orang yang sangat Ia sayangi, seperti papanya ini.

Setelah melihat Jenni menangis, Bi Ines pun angkat suara “Sebenarnya.. Bapak itu...”

Perkataan Bi Ines kembali terhenti ketika majikannya angkat bicara.

“Papa itu..”

“..”

“PAPA KENAPA!?” bentak Jenni yang sudah tidak sabar dengan keadaan seperti ini dengan nada yang sedikit meninggi.

“Sebenarnya Papa itu... sakit karena..”

“Karena apa, Pa?! Jangan buat Jenni semakin khawatir,” sambungnya yang dihiasi isakan tangis yang membesar.

Patrick diam sejenak, lalu Ia berbalik menghadapnya sambil tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya. Beberapa saat kemudian, Ia berkata dengan santainya.

“Mau pipis.”

Jenni diam sesaat tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“PAPAAA!!!” teriak Jenni kesal yang diikuti oleh tawa Bi Ines dan Papanya.

Ya, Jenni dan Papanya, Patrick Widoyo, selalu saling mengejek. Meskipun lebih sering kalah, Ia selalu ingin berdebat dengan papanya. Menurutnya, Patrick adalah seorang teman, musuh, sahabat, papa, dan masih banyak lagi. Meskipun sangat kesal dengannya, Patrick selalu punya cara membuat Jenni bahagia. And that’s why, she loves him more than anyone.



-Wonderful Feelings-


Author usahakan akan cepat update 🤗
Doakan supaya banyak ide menarik yahh 😆😆

To be continued..

Wonderful FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang