PART 21

90 15 0
                                    

“Gue tahu kok kalau lo suka ama gue. Gue hanya mau lihat seberapa besar kesabaran lo ngelihat gue dengan orang lain.
Karena, satu hal yang pasti, gue juga sayang ama lo.”

-Wonderful Feelings-








Bel jam ketiga pun kembali berbunyi, tanda pergantian pelajaran di setiap kelas. Bu Nita pun bergegas keluar dari kelas XI IPA 1, melihat Pak Jona sudah menunggu di luar kelas. Tanpa menunggu waktu yang lama, Pak Jona bergegas masuk ke dalam kelas.

Ia menerangkan beberapa materi yang berkaitan dengan pelajarannya, Biologi. Pak Jona sendiri adalah guru yang juga sangat disukai oleh para siswa. Selain cara mengajarnya yang bagus, Ia juga sangat akrab dengan mereka, mengingat umurnya yang baru 26 tahun.

Namun, kali ini, Adit tak melakukan hal yang sama. Meskipun sekarang Ia lebih jarang bolos, Ia tetap saja tak memerhatikan pelajaran dengan baik.

“Dit?” sapa Jenni yang melihat Adit tengah fokus akan kertas di depannya.

“Hmm,”

“Nggak memerhatikan?” tanyanya lagi.

“Males ah,” jawabnya singkat.

“Idihh.. Jutek amat. Ngapain sih?” tanyanya lagi sambil mencondongkan kepalanya, hendak melihat apa yang sedang dilakukan lelaki itu.

Gadis itu mendapati Adit yang tengah menggambar sesuatu. Namun, Ia tak dapat melihat jelas gambar itu. Oleh karena itu, Ia pun berniat melihatnya dari dekat.

“Lo menggambar yah? Gambar apa tuh? Biar gue liat dongg!” serunya sambil menarik kertas itu.

“Yah yahh.. Itu kan belum sele--”

“Wahhh! Bagus banget ini!” seru Jenni pasca melihat gambar tersebut.

Adit menggambar sebuah rumah yang terlihat mewah. Rumah itu berada di atas gunung dengan sungai di sisi kanannya. Di sisi kirinya nampak sebuah pohon yang amat sangat besar. Rerumputan yang tumbuh pun menambah indahnya gambar ini.

Meskipun belum disentuh oleh warna apapun, gambar tersebut sudah terlihat sangat indah. Jenni terkagum-kagum melihat kertas itu yang dibalas dengan senyuman tipis cowok itu.

“Ya, kalau Tuhan berkenan, gue bakal buat rumah kayak gitu dan tinggal di situ. Gue mau ngabisin sisa hari tua gue di sana,” ucap Adit yang kini melihat lurus ke depan.

Kagum Jenni pada sosok Christopher Aditya pun bertambah. Selain ganteng, tinggi, dan kaya, cowok itu pun sudah memikirkan masa depannya, bahkan hari tuanya sekali pun.

Ucapan Adit itu hanya dibalas oleh tatapan tak percaya Jenni.

“Lo suka?” tanya Adit yang tiba-tiba berbalik ke arah Jenni.

Sekali lagi, Jenni melihat gambar di kertas itu. Memerhatikan setiap garis dan titik hitam yang terbentuk.

“Ya gue juga maulah tinggal di sini,” jawabnya.

“Yaudah nanti gue juga buatin 1 rumah buat lo,” balasnya singkat sambil tersenyum lebar ke arah gadis itu.

Jenni pun menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Ahh, gak usah lah. Nanti lo udah tua, gue masih ngerepotin lagi.”

“Lo bisa tinggal kok di situ tanpa gue buatin rumah.”

Jenni berbalik menatap Adit.

“Maksud lo? Lo mau mengontrakkan rumah ini untuk orang-orang tua? Yang adanya rumah lo jadi panti jompo,” balasnya yang diselingi dengan kekehan Adit.

Wonderful FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang