Hari ini Arka memutuskan datang pagi-pagi ke sekolah. Dia harus memastikan Arana datang atau tidak hari ini ke sekolah. Sedari tadi matanya memperhatikan siswa-siswi yang datang, tapi dia tetap belum menemukan Arana.
Matanya terpaku pada salah satu mobil yang baru saja memasuki gerbang sekolah. Mobil milik Leo. Arka mendesis pelan, dia merutuki kebodohannya karena membiarkan Leo membawa Arana kemarin. Arka langsung menuju ke mobil yang kini sudah terparkir di parkiran sekolah.
"Kemarin lo bawa Ara kemana?" tanya Arka langsung ketika Leo baru keluar dari mobilnya.
"Ya gue bawa ke rumah sakit lah. Masa gue bawa ke dukun."
"Rumah sakit mana?"
"Rumah sakit samping rumah gue."
Arka memejamkan matanya ketika mendengar jawaban Leo. Saat ini dia tidak ingin bercanda ataupun bertengkar, tapi Leo malah memancingnya.
"Lo bawa Ara ke rumah sakit mana, Leo?" tanya Arka sekali lagi sambil menahan emosinya.
"Emang lo mau ngapain kalau tahu gue bawa Ara ke rumah sakit mana?" bukannya menjawab pertanyaan Arka, Leo malah balik bertanya.
Arka mengepalkan tangannya, ingatannya kemarin memutar saat Leo menggendong Arana di depannya, tapi dengan bodohnya dia membiarkan hal itu. Emosinya sudah tidak bisa ditahan, Arka langsung menarik kerah seragam Leo membuat beberapa siswa-siswi yang berjalan langsung menghentikan langkah mereka.
"Gue lagi nggak mau bertengkar." Kata Arka dingin.
"Gue nggak ajak lo bertengkar. Lo aja yang sensi."
Perkataan Leo sukses membuat dirinya mendapatkan bogem mentah dari Arka. Hal itu membuat para murid bergerombol melingkari mereka, tidak ada yang berniat menjauhkan mereka berdua.
Leo yang tadinya sedikit terhuyung karena mendapatkan pukulan dari Arka langsung balas memukul Arka. Tidak mau kalah, Arka kembali memukul Leo, membuat Leo terjatuh saking kerasnya pukulan Arka. Kini Arka berada di atas tubuh Leo, tangan kirinya memegang kerah seragam Leo, sedangkan tangan kanannya sibuk memukul wajah Leo. Sudut bibir Leo mengeluarkan darah akibat pukulan Arka, kondisi Arka juga tidak jauh berbeda dengan kondisi Leo sekarang.
"Berhenti!" teriakan Deni yang baru saja datang bersama Sheila tidak membuat kedua cowok itu menghentikan kegiatan mereka. Mereka masih sibuk saling memukul satu sama lain.
"GUE BILANG BERHENTI YA BERHENTI!" teriakan Sheila sukses membuat Arka menghentikan pukulannya. Cowok itu menatap Sheila, nafasnya memburu karena emosi.
Deni yang melihat hal itu langsung menjauhkan Leo dari Arka, begitu juga dengan Sheila yang menarik Arka menjauh. Sheila menatap Arka dengan pandangan kesal, kemudian berbalik memandang Leo dengan pandangan sama kesalnya. Seragam mereka kotor, wajah mereka lebam, sudut bibir mereka mengeluarkan darah.
"Kalian itu bego, bodoh, atau nggak bisa mikir?!" bentak Sheila. Bisa-bisanya mereka bertengkar pagi-pagi begini.
"Dia yang mulai duluan!" kata Arka tidak terima.
Mendengar perkataan Arka membuat Leo melotot kesal. "Lo yang duluan mukul gue!"
Arka yang memang masih emosi berusaha melepaskan cengkraman tangan Sheila dari lengannya, mencoba memukul Leo lagi.
"Mau gue laporin soal kelakuan lo ke tante Gina?!" ancaman Sheila cukup membuat Arka mengurungkan niatnya untuk memukul Leo lagi. Dia mendengus kemudian menghempaskan tangan Sheila, berjalan menjauh dari tempat itu.
Arka melangkahkan kaki menuju mobilnya. Moodnya untuk belajar hari ini hilang sudah. Dia memilih mengelilingi kota Jakarta daripada harus bertemu dengan Leo satu hari ini.
Arka melajukan mobilnya keluar dari sekolah, tidak memperdulikan Sheila yang terus berteriak memanggil namanya. Dia harus mencari Arana, tidak peduli sebanyak apa rumah sakit di Jakarta, Arka akan mencari Arana di rumah sakit itu satu persatu.
Arka melirik kearah handphonenya yang baru saja berbunyi. Pesan masuk dari Deni. Dia langsung membuka pesan itu.
Deni Pratama: Arana ada di rumahnya.
Arka tersenyum membaca pesan itu. Sahabatnya ini memang paling pengertian. Dia langsung melajukan mobilnya menuju rumah Arana.
***
Arana menatap datar kearah Arka yang sedang berdiri di depan rumahnya sambil tersenyum. Kegiatan membaca novelnya jadi terganggu karena kedatangan manusia setengah alien ini.
Arana menatap wajah Arka lama. Dia sedikit mengernyit melihat wajah Arka yang lebam dan sudut bibirnya yang berdarah. Arka yang menyadari hal itu langsung tersenyum lebar.
"Gue nggak apa-apa kok, nggak usah khawatir. Arka mah strong orangnya." Kata Arka sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Gue nggak nanya." Mendengar balasan Arana membuat senyum Arka luntur. Sepertinya dia memang terlalu berharap.
"Masuk." Titah Arana sambil berbalik masuk ke dalam rumah. Arka langsung mengikuti langkah Arana.
"Duduk." Titah Arana lagi. Arka hanya mengikuti perintah Arana tanpa melawan.
Arana berjalan menuju dapur, meninggalkan Arka sendiri di ruang tamu. Tidak lama kemudian cewek itu kembali membawa baskom berisi air dan handuk kecil.
Dia duduk di samping Arka yang sedari tadi menatapnya. Tangannya mulai merendam handuk di baskom yang tadi dibawanya.
"Muka lo yang jelek jadi tambah jelek." Kata Arana sambil mengompres lebam di wajah Arka.
"Gue tuntut Leo kalau muka gue jadi jelek."
Perkataan Arka membuat Arana menghentikan kegiatannya itu. "Lo berkelahi sama Leo?"
Arka hanya mengangguk. Dia malas membahas hal ini. Arana juga hanya diam, tidak memperpanjang hal itu.
"Ra?" Panggil Arka setelah cukup lama terdiam.
"Hm."
"Kenapa lo bilang kalau perasaan gue ini salah?"
Hening.
"Ra?"
"Hm."
"Gue tahu lo juga punya perasaan yang sama dengan gue."
"Percaya diri lo terlalu tinggi."
Arka menghentikan gerakan tangan Arana yang sedang mengompres lebam di wajahnya. Dia menatap lekat mata Arana, kemudian tersenyum kecil.
"Gue cuma mau bilang lo itu aneh." Kata Arka. Senyumnya perlahan-lahan melebar.
"Dan gue jatuh cinta sama keanehan lo itu."
Arka menarik pelan Arana ke dalam pelukannya. Senyumnya semakin lebar karena Arana tidak menolak pelukannya itu. Tangannya mengelus rambut panjang Arana, membuat cewek itu semakin merasa nyaman di dalam pelukan Arka.
"Now you're mine."
-----Arka-----
KAMU SEDANG MEMBACA
SS (1) - Arkarana
Подростковая литература(Cover by @pujina) Sweet Series 1: Arana Putri Pramudipta. Mempunyai kepribadian yang tertutup dan hati sedingin es membuatnya harus melewati masa putih abu-abu sendirian. Hanya gitar dan piano yang dianggapnya sebagai teman. Hingga suatu hari Arana...