"Jadi semua senjata dan amunisi yang mereka ambil sudah kembali?" Seperti biasa, suara berat Kolonel Bachtiar terdengar begitu hangat seperti suara ayah kepada anaknya.
Letnan Irfan dan ketiga rekannya berdiri di ruangan laki-laki tua itu, setelah tadi diberi kesempatan untuk membersihkan diri sebentar. Helikopter yang menjemput mereka terlambat beberapa menit, tetapi akhirnya sampai juga dengan selamat di kamp.
Menginjak waktu menjelang siang, suasana kamp sudah lebih sepi. Kelompok yang bertugas jaga dan patroli pagi sudah berangkat sejak tadi, dan mereka yang baru kembali dari patroli malam, memanfaatkan beberapa jam yang diberikan untuk memulihkan kondisi sebelum bertugas lagi siang nanti.
Mereka tidak tahu kalau Kolonel Bachtiar telah kembali dari Tarakan, dan begitu bersemangat bertemu setelah mendengar kabar itu. Bagi mereka berempat, lelaki tua itu sudah seperti bapak. Mungkin terutama bagi Irfan sendiri.
"Siap! Betul, Pak." Himawan menjawab dalam sikap sempurna.
"Dan prajurit itu? Siapa namanya?" Bachtiar memandang Irfan.
"Pratu Ismail, Pak! Helikopter langsung menerbangkannya ke Medan begitu kami tiba di sini."
Bachtiar mengguk-angguk dengan sebuah senyum di bawah kumisnya yang kelabu, "Kerja bagus. Sekarang kita bisa lega sebentar; orang-orang kampung itu tidak akan menembaki tetangga mereka dengan peluru kita.
Masalah lain sekarang. Aku harus kembali ke Magelang selama beberapa hari, jadi komando di sini aku serahkan sementara kepada Himawan."
"Siap! Laksanakan!"
"Dan ada titipan buat kalian dari administrasi kesatuan. Pembaharuan surat wasiat." Bachtiar mengangsurkan sebuah map kepada masing-masing dari mereka dan menatap dengan pandangan sungguh-sungguh. Ia seperti tahu betul apa yang biasa dilakukan anak buahnya pada dokumen penting seperti itu, "Kali ini isi dengan benar! Jangan digambari macam-macam!"
Irfan dan yang lain mengulum senyuman. Ia sudah mengira administrasi akan mengirimkan dokumen yang baru karena bulan lalu ia menggambar seekor gorila besar di berkasnya, dan yang lain juga melakukan hal yang sama. Rasanya terlalu menakutkan, atau menyakitkan, menulis sebuah surat wasiat di usia mereka yang baru melewati seperempat abad.
"Kalian boleh bubar. Kecuali kau, Irfan."
Himawan memberi aba-aba penghormatan dan berbalik bubar keluar dari ruangan itu. Hanya Irfan yang masih tinggal dengan sikap siap.
"Istirahat! ....Duduklah."
Bachtiar duduk di belakang mejanya dan Irfan mengambil kursi di depannya, "Terimakasih, Pak."
"Bagaimana kondisi pasukan di sini?"
"Mereka lelah, Pak, tapi semua dalam kondisi prima."
Bachtiar mengguk-angguk, "Kau sendiri?"
"Saya siap bertugas."
"Tidak rindu rumah? Kalau sudah beristri, kau pasti ingin pulang." Kakek satu cucu itu seperti bisa membaca batinnya melewati mata. Tapi Irfan tidak bisa mengaku sejujur itu, meskipun Bachtiar sudah seperti pengganti ayah baginya. Lagi pula, memangnya kepada siapa ia akan pulang?
"Di sinilah rumah saya, Pak."
"Ya, aku tahu. Kesatuan inilah keluargamu. Tapi keluarga yang lain menanyakan kapan ayah, suami, atau anak mereka akan pulang. Kalian sudah terlalu lama di sini, jadi aku menghubungi pusat. Mereka setuju menganti kalian dengan pasukan yang baru. Itu sebabnya aku harus berangkat ke Magelang sore ini untuk mengurus segala sesuatunya."
Irfan tersenyum lebar. Jelas ini adalah kabar yang pantas dirayakan. "Teman-teman pasti senang sekali mendengar kabar ini, Pak."
"Jangan senang dulu. Mungkin masih satu atau dua minggu lagi kalian di sini. Dan aku khawatir pasukan yang baru tidak bisa membawa cukup tenaga medis. Mereka butuh tambahan dokter, mungkin selama sebulan mendatang, sampai ada dokter baru yang datang." Bachtiar menghentikan kalimatnya sebentar, dan ia langsung bisa menebak ke mana arah pembicaraan laki-laki tua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romantik#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...