Udara masih cukup hangat meskipun hari-hari ini sudah memasuki awal musim kemarau. Irfan sangat menikmati sejuknya embun saat ia menapak dengan sepatu larinya ke atas perbukitan yang penuh ditumbuhi tanaman kayu produksi.
Lereng-lereng ini terlalu miring untuk dibuat lahan pertanian terasiring, lagi pula tanahnya terlalu terjal dan berbatu. Tetapi pohon kayu bisa tumbuh di manapun di negeri ini, berkembang sesuai dengan keadaan di sekitarnya tanpa mengenal sulit mudahnya tanah dan sedikit atau banyaknya air.
Ketika ia berlari lagi menuruni perbukitan itu dan memasuki jalan jalan kampung, hari sudah benar-benar terang meskipun matahari belum terasa kehangatannya. Orang-orang mulai lalu-lalang dengan sepeda dan motor. Banyak juga anak-anak kecil berseragam merah putih yang masih agak kebesaran berjalan berentengan dengan teman-temannya sambil bercanda. Mereka anak-anak kecil yang sangat penuh semangat dan sering terlalu pagi sampai di sekolah, sama seperti dirinya dulu.
Melihat sosoknya yang tinggi dengan kaus yang lekat ke badan oleh keringat, anak-anak itu berhenti bercanda dan terpana menatapnya. Irfan melebarkan senyum menyapa, tetapi mereka malah semakin terkejut, membuatnya tertawa kecil. Benar-benar kepolosan yang indah.
Ia ingin mempunyai anak yang banyak suatu hari. Yang banyak sekali. Sehingga masing-masing dari mereka akan punya banyak saudara untuk saling menyayangi, dan tidak akan kesepian, sendirian seperti dirinya yang menjadi anak tunggal.
Tiba di lingkungan kompleks Gelagah, matahari sudah lebih hangat. Para ibu sudah keluar untuk menyapu halaman atau menyuapi anak-anak kecil mereka yang akan berangkat sekolah di TK. Sayang Irfan tidak tahu siapa nama tetangga-tetangga Pak Prayoga. Maka ia hanya mengangguk dan mengulas senyum saat bertemu pandang dengan mereka. Orang-orang itu membalasnya dengan senyum ramah, dan bertapa mengherankannya cara mereka menatapnya dan kemudian berkasak-kusuk dengan tetangganya yang lain.
"Lho, ini kan Mas dokter Irfan itu, kan ya? Yang menikah dengan Mbak Sarah?" seorang bapak bersarung melempar selangnya di halaman dan menyambutnya yang baru tiba di depan pagar rumahnya.
Bapak itu menjabat tangannya erat, dan Irfan terbengong saja dengan cara laki-laki itu memanggilnya.
"Masya Allah, gagah sekali seperti Nak Himawan. Kapan datangnya, kok ndak ada yang tahu?"
"Tadi malam Pak..." Irfan tergagap, apalagi istrinya kemudian ikut nimbrung di tepi jalan itu.
"Bu... ini dokter Irfan yang itu, lho!"
"Oh, Mas Dokter,... maaf kami tidak bisa bantu-bantu mengadakan penyambutan. Habis keadaannya juga begini. Kami mau mengucapkan bela sungkawa, tapi juga mengucapkan selamat. Aduh... saya bingung musti bicara gimana. Terimakasih kemarin hantarannya banyak sekali. Semuanya senang. Bersyukur sekali."
Irfan tanpa sadar menggaruk belakang kepalanya. Ia lebih bingung lagi dengan yang dibicarakan wanita itu,
"Saya yang harusnya berterimakasih Bu, terimakasih sudah menjaga Sarah."
"Lha iya, siapa nyana Mas Dokter ini mendapat perpanjangan tugas segala. Kami cuma bisa mbantu berdoa, mudah-mudahan Mbak Sarah itu kuat."
Irfan semakin terperangah karena tetangga Sarah mengetahui begitu banyak.
"Mbok ayo, masuk sebentar to. Itu ibunya sudah masak nasi goreng, kita sarapan dulu sama-sama." Sang Bapak telah mengamit lengannya dan menarik dengan kuat ke dalam, tetapi Irfan bertahan,
"Maaf sekali, mungkin tidak hari ini, Pak. Saya harus segera pulang."
"Iya, Bapak ini kok ndak pengertian banget. Gangguin pengantin baru saja!" istrinya menempelak lengan suaminya dengan keras, tetapi justru wajah Irfan yang terasa panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...