Sarah melangkah dengan sepatu putihnya yang rata menyusuri trotoar. Kesepiannya pada perjalanan-perjalanan seperti ini tidak lagi terasa seperti beberapa waktu yang lalu, ketika segalanya terasa sangat berat. Ia mulai terbiasa dengan jarak jauh yang musti ditempuhnya seorang diri, dan lagi semuanya sudah jauh berbeda dengan dulu.
Ia berbelok di gerbang rumah sakit angkatan darat, dan seorang penjaga berpakaian militer mengangguk dan tersenyum padanya. Sarah membalas senyum itu, menggenggam ikatan seruni di tangannya lebih erat.
Pintu masuk rumah sakit menghembuskan hawa sejuk yang jauh berbeda dengan udara di jalan. Ia mulai terbiasa dengan udara dan aroma dan juga suasana ini, sehingga besar keinginannya untuk menjadi bagian dari semua tempat ini kembali berkobar.
Memasuki ruang perawatan kelas I kamar 11, Sarah sedikit tertegun. Kamar itu telah kosong, seprei dan sarung bantalnya telah dilepas.
Jarinya mengelus permukaan tempat tidur dengan gamang, ada perasaan sedih yang membuat hatinya mengerut mengingat begitu banyak masa-masa berat di tempat tidur itu. Sekarang setelah semuanya berakhir, ia masih saja datang untuk mengenang semuanya.
Suara ketukan di pintu Q menyentaknya dari lamunan. Sarah buru-buru menghapus air mata di wajahnya dan menghadapi seorang perawat pria yang membawa seprei bersih dalam pelukannya. Laki-laki itu menatapnya penuh simpati dengan sebuah senyum samar menungging di bibirnya yang tipis. Mereka seolah telah saling mengenal begitu lama.
"Apa sudah ada pasien baru yang akan menempati kamar ini?" ia berkata setengah tak rela.
"Iya." Perawat itu menjawab dan masuk, membentang sepreinya di atas tempat tidur.
"Dokter ingin bicara dengan Anda. Beliau menunggu Anda di kebun."
Ia mengangguk-angguk tak sadar, "Ya, nanti saya akan menemuinya."
Sarah melupakan apa yang baru saja diucapkannya pada perawat itu ketika kemudian melintasi hampir seluruh bangunan rumah sakit dan tiba di jajaran kamar asrama para dokter dan perawat muda di bagian belakang rumah sakit itu.
Tempat itu jauh lebih sepi dari pada bagian depan. Sarah hanya berpapasan dengan beberapa orang yang mengangguk dan tersenyum padanya. Beberapa dikenalnya, beberapa tidak. Menurut perkiraannya sebagian dari mereka adalah dokter dan perawat yang baru saja kembali dari tugas jaga malam.
Ia berjalan di setapak berpaving di jajaran selatan dan tiba di pintu keempat dari deret itu. Formika persegi kecil bertuliskan nama Irfan terselip di kotak surat di samping pintu, lengkap dengan pangkat, dan gelarnya. Tiba-tiba ia ingin sekali menangis, teringat betapa kakaknya telah memikirkan segala sesuatunya bahkan sebelum merasakan kematian akan datang. Tetapi Sarah terlalu bodoh untuk mengerti.
Ia mendorong pintu dan masuk. Tempat itu masih sebersih dan serapi sebelumnya, perawat rumah Irfan seolah tidak pernah membiarkan sesuatu jejakpun menunjukkan bahwa seseorang tinggal di sana. Apa yang mencegahnya mengambil alih tugas perawat rumah itu? Sarah tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, bahkan sampai sekarang. Mengapa ia harus jauh-jauh naik kendaraan umum dari Jogja ke Magelang ini, padahal sebenarnya ia bisa saja tinggal dan tidur di kamar Irfan.
Sarah mendesah, mengelus sebuah sweater yang digantungkan begitu saja di punggung kursi kerja. Ia merasakan sweater itu hangat, dan aromanya begitu familiar. Tangannya menarik laci teratas meja kerja dan menemukan sebuah kotak. Seperti peti besi kecil namun tidak berpengunci. Sarah membukanya, ternyata tidak ada isinya.
Ia menarik kalung pemberian Irfan lepas dari atas kepalanya. Cincin bermata dua itu masih terikat di sana, berdampingan dengan sebuah cincin lain yang polos. Sarah mengamati grafir sisi dalam cincin itu. Aku menunggumu.
Seolah menjadi jawaban,cincin satunya pun mempunyai tulisan serupa; Aku datang. Kini keduanya akan bersatu dalam peti besi itu, tersimpan di sana.
Pintu depan yang tiba-tiba membuka membuat Sarah terkejut. Ia mengerjapkan embun yang menggantung di matanya untuk bisa melihat sosok yang berada di pintu; duduk di kursi roda, memakai setelan pakaian rumah sakit yang berwarna biru muda, sebuah kantong infus menggantung di tiang pendek di dekat sisi kepalanya. Ia mendorong roda kursinya masuk, menatap Sarah dengan kerut heran dan kesal.
Sarah tersenyum dan meletakkan kembali kotak besi itu di tempatnya dan mendorong laci menutup. Orang yang memandangnya menurunkan masker oksigen dari wajah.
"Sedang apa kau di sini? Aku menunggumu sejak tadi!"
"Hanya mengembalikan sesuatu." Sarah berkata pelan, menjauhi meja.
Irfan menatap penasaran pada laci yang baru ditutup, "Apa?"
"Sesuatu untuk upacara kita... tidak penting."
"Apa kau tahu kita sudah terlambat sekali untuk latihan? Jangan-jangan kau juga akan terlambat ke pernikahanmu sendiri!"
"Latihannya jam sebelas, Letnan. ini baru jam sebelas kurang seperempat. Dan tolong jangan marah-marah, kau tidak boleh sampai sesak nafas."
"Tapi kau terus-terusan membuatku sesak nafas!"
Sarah tersenyum menanggapi Irfan yang memberengut, ia memutar kursi roda laki-laki itu, "Sudahlah, ayo kita latihan supaya kau bisa sedikit bergembira."
"Supaya aku bisa lepas dari pengawasan perawat-perawat itu yang selalu mendelik dan menggoyangkan jari setiap kali aku mencoba berdiri. Aku heran sama mereka! memangnya siapa dokternya di sini?!"
"Kau pasien di sini, Dokter." Sarah tidak bisa menahan tawa.
"Lihat saja saat aku sudah mulai bekerja besok lusa. Aku akan balas mengerjai mereka!"
Sarah tertawa, "Aku tidak tahu kau orang yang tega mengerjai orang lain."
"Kau saja yang belum tahu!"
Mereka mencapai pintu, tetapi tiba-tiba Irfan menjejakkan kakinya di bingkainya.
"Aku mau menanyakan sesuatu..." Pemuda itu berpaling, sedikit kesulitan memandang wajahnya. "Apa kau mau menikah denganku?"
Sarah memiringkan sedikit badannya supaya bisa balas memandang Irfan. "Kita sudah menikah, acara minggu depan hanya perayaan di kesatuan, mau menikah yang bagaimana lagi?"
"Maksudku... dulu aku belum melamarmu secara resmi... Apa kau benar-benar mau menikah denganku, Sarah?" Irfan menatapnya lekat-lekat, seolah benar-benar mengharapkan jawaban.
"Iya, Kak. Aku mau menikah denganmu."
Dokter muda itu berbalik kembali menghadap ke depan. Sebuah senyum kecil melintang di bibirnya ketika ia menyingkirkan sepatunya dari bingkai pintu. "Okay. It sounds good."
Mereka berjalan di atas paving bermandikan matahari akhir Juli yang beranjak siang. Beberapa pasang mata memandang mereka dan tersenyum.
"Kau sudah menyelesaikan pasportmu?"
"Umh... belum. Besok kuurus."
"Kau ini apa-apaan Sarah! Kita berangkat awal Agustus, masih banyak sekali yang perlu diurus...."
Sarah tersenyum saja mendengar Irfan berceramah tentang pentingnya persiapan. Setelah hampir dua bulan melewati masa-masa sulit; begitu banyak operasi, masa kritis dan koma, masa penyembuhan yang begitu sunyi dan lama, mendengar Irfan bicara kini, adalah sebuah karunia.
****
#hhmmmhhh.... Selesai sampai di sini... mungkin aku akan menambahkan beberapa bagian nantinya, semacam petilan-petilan kecil yang manis untuk dinikmati secara terpisah setelah kalian mengenal sarah dan irfan. Beberapa berrating R/T beberapa berating M.... wkwkwkwk....
Ada juga sebuah sequel penuh kepedihan yang masih dalam bentuk draft. Tapi aku akan membaginya hanya jika kalian menginginkannya.
Setelah ini akan ada sebua cerita action untuk diikuti. "Dayung Preman Pasar Manik." Make sure you dont miss it.
See ya... with love.#
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romans#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...