17#Pengunjung Tengah Malam

2.2K 254 26
                                    

Madam Roswilda berayun di punggung kursinya yang berbalut kulit beruang kutub, dengan pipa tembakau gading di tangannya, ia meredupkan matanya yang ber-make up tebal menatap amplop yang diangsurkan Noe di atas mejanya dengan sangat hati-hati.

Pemuda itu gemetar dengan sangat gelisah di depannya. Sementara dua orang tukang pukul Roswilda menekan kedua bahunya dan memaksanya berlutut di lantai.

Ia bisa melihat kop SMU KALAM BAKTI pada amplop itu. Dan melihat cara Noe berpakaian, pemuda itu langsung datang kepadanya begitu kembali dari sekolah.

"Kita lihat berapa gaji seorang tentor sekolah...." Roswilda mengeremik. Asistennya yang cantik namun bertubuh kekar di sampingnya mengambil amplop itu, mengukur ketebalan amplopnya dan melirik Noe sekilas.

"Kelihatannya tidak banyak, Madam." Ia membuka amplop itu, dan mengipaskan sebuah bendel ratusan ribu masih dengan band pengikat dari bank padanya, "Lima juta rupiah."

Roswilda tertawa sampai terdongak. Sementara pengawal di belakang Noe menekan bahu pemuda itu lebih dalam, dan menarik lengan kirinya jauh ke belakang, hingga ia menjerit kesakitan,

"Aku mohon Madam, aku sudah memberikan semua penghasilanku. Baru itu yang aku punya. Beri aku waktu lagi." Noe menangis.

"Waktu lagi.... Waktu lagi..." Roswilda menjentikkan abu rokoknya. "Waktu yang kau minta hanya mendekatkan ibumu pada kematiannya, Noe.... Kau tahu, kan, apa bayarannya jika kau tidak mengembalikan uangku?"

Noe tercekat, pucat pias oleh nada dingin ucapan Roswilda, "Tidak! Jangan bawa-bawa ibuku. Aku akan melunasi hutangku, Madam. Tapi jangan bawa-bawa ibuku. Ini antara aku dan kau!"

"Tiga hari! Kembali dengan uangku, kalau tidak ibumu akan mati!" Roswilda berseru dengan suara berat dari tempatnya duduk.

"Beri dia pelajaran! Tapi simpan tenaga kalian untuk membunuh ibunya."

"Madam, aku akan mengembalikan uangmu, aku janji! Tapi jangan sentuh ibuku!!" Noe berteriak, tetapi sebuah hantaman keras mengakhiri kalimatnya, dan kedua pengawal itu menyeret lengannya hingga ia menggelesor di lantai keluar dari ruangan Roswilda.

"Lepaskan! Aku bisa jalan sendiri!" Noe meminta, tetapi sebuah lemparan menghempasnya ke arah dinding, dan sebelum ia sempat benar-benar berdiri, pengawal Roswilda telah mendorongnya ke sebuah koridor kecil, menuruni tangga kayu menuju gudang bawah tanah.

Salah satu tukang pukul itu mendorongnya, hingga ia jatuh bergulingan ke dasar tangga. Detik berikutnya sebuah tendangan menderakkan rusuk-rusuknya. Noe mengaduh, berteriak mohon ampun, tetapi tak seorangpun dari mereka mendengar, dan justru menjawabnya dengan pukulan bertubi-tubi, di wajah dan perutnya. Hingga akhirnya ia tersungkur di lantai tanah, memuntahkan darah.

"Cukup. Madam bilang dia harus tetap bisa berjalan untuk membawa uangnya kembali ke sini." Salah seorang tukang pukul itu berkata.

Saat kemudian mereka mengangkat lengannya dan menyeretnya ke pintu tingkap menuju keluar, Noe sudah nyaris tak sadarkan diri.

Hanya kemudian guyuran hujan deras yang menimpanya ketika mereka melemparnya di jalan, membuatnya tetap sadar.

Noe menelungkup di atas aspal. Lesatan-lesatan air terasa seperi bilah-bilah pisau tajam yang mengiris-iris di atas luka-luka memar di sekujur tubuhnya yang memerah biru. Ia masih bisa merasakan cahaya lampu jalan menyinari punggungnya, lompatan-lompatan air hujan yang memantul di atas aspal jalan memercik ke dalam matanya.

Samar antara sadar dan tidak sadar, ia masih bisa melihat selembar foto yang jatuh melayang dari antara celah sketchpad Irfan; empat orang pria berseragam militer. Salah satunya adalah Himawan Prayoga, orang yang menyebabkan semua tragedi ini, dan dokter itu ada diantara mereka.

My  Lovely Lieutenant's  LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang