Kakinya masih sakit jika terlalu banyak digerakkan, tetapi apa yang terpampang di hadapannya benar-benar menenggelamkan setiap hal yang dirasakannya. Semua yang tiba-tiba disadarinya saat itu begitu mempesona; setiap kenangan, sosok Irfan, apa yang terjadi di antara mereka....
Bagaimana ia bisa melupakan segalanya? Apa yang telah terjadi?
Tawa pemuda yang berjongkok sambil mengompres kakinya dengan handuk panas itu menariknya dari lamunan.
"Aku dokter, bukan tukang pijat! Bagaimana? Lebih enakan?" Irfan memandangnya sekilas masih dengan senyum lebar, dan Sarah mengangguk kecil.
"Kelihatannya pergelanganmu tidak apa-apa. Tetapi aku tetap akan lebih tenang setelah melihat hasil X-ray-nya." Irfan memutar pergelangan kaki Sarah perlahan-lahan.
"Kau kakak yang waktu itu, ya?" ia akhirnya tak bisa menahan rasa penasarannya.
Gerakan Irfan memijit kakinya terhenti. Pemuda itu seolah beku selama beberapa detik sebelum mengangkat wajah memandangnya, "Kau sudah ingat?"
Mereka saling tatap, dan waktu seakan berhenti saat Sarah menyentuh sisi wajah Irfan perlahan, mengamatinya dengan seksama sekaligus takjub, "Kau kakak yang dibawa papaku waktu itu.... Ya ampun, aku benar-benar pangling!" Sarah tertawa, sementara Irfan hanya tersenyum kecil, menyingkirkan baskom air panasnya dari lantai dan duduk di samping Sarah.
"Kenapa kau tidak pernah bilang, Kak?" Sarah memukul lengan Irfan sedikit, dan tangan itu tertinggal di sana sementara ia menyeringai tertawa.
"Aku ingin bilang... Ribuan kali aku ingin mengingatkanmu, sejak pertama aku menelponmu dulu, waktu masih tugas di daerah. Tetapi aku ingin kau mengenalku seperti yang sekarang."
Sarah berhenti tertawa, dan mereka saling pandang, saling diam, membuat suasana menjadi aneh dan kaku.
"Sejak kapan kau ingat?" Irfan mengerjap, memecah keheningan.
"Sore tadi, sewaktu kau menggendongku... Aku tiba-tiba ingat pernah memimpikanmu, tapi tak bisa mengingat wajahmu dengan jelas. Lalu perlahan-lahan semua kenangan itu kembali. Belum semuanya, tapi aku ingat sebagian besar."
Irfan tersenyum samar dan mengangguk-angguk kecil, menopang lengan bawahnya di atas paha dan mengaitkan jari-jarinya, seperti mencemaskan sesuatu.
"Kau tidak merasa sedih?" tiba-tiba ia bertanya.
"Karena mengingatmu?" Sarah mengangkat alisnya heran. Bagaimana seseorang bisa merasa sedih karena teringat kenangan masa kecilnya yang menggembirakan?
"Bukan... karena kenangan papamu."
Kali ini ganti kening gadis itu yang berkerut, ia menggeleng sedikit tidak mengerti, "Aku bahkan tidak teringat papaku saat ini. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Karena kau melupakanku karena harus melupakan kenangan tentang papamu. Jadi kupikir, saat kenangan tentang kita kembali, kau juga akan teringat pada mendiang papamu."
Sarah menggeleng, "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Kak... Bagaimana aku bisa melupakanmu? Maksudku benar-benar lupa padamu, padahal aku sudah cukup besar waktu itu. Baru sekitar sepuluh tahun yang lalu, kan?"
"Dua belas tahun yang lalu," Irfan membenarkan. Ia sedikit menunduk dan wajahnya tampak sedih di mata Sarah, membuatnya kian tidak mengerti apa yang menyebabkan semua itu, terlebih lagi ia tidak mengerti ke arah mana pembicaraan Irfan sebenarnya.
"Bagaimana aku bisa melupakanmu?" Salah lagi lagi menggumam.
"Itu karena Himawan membuatmu melupakanku." Irfan mengangkat wajahnya menatap Sarah, pandangannya redup, seolah ada sesuatu yang memberati batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...