7# A Friend In Need

2.5K 254 9
                                    

Pintu membentur genta kuningan kecil di belakang kusen saat Noe membukanya. Pemuda itu mengangkat bahu sedikit terkejut dan bertukar pandang dengan Sarah. Mereka sama-sama tersenyum kecil.

"Ibuku mudah sekali terbangun. Tapi hari ini dia baru difisioterapi. Tidurnya pasti nyenyak sekali. Ayo masuk."

Noe memberinya jalan, membuka pandangan Sarah pada restauran kecilnya yang menyala remang-remang oleh sebuah lampu bohlam.

"Duduklah. Kalau mau ke belakang, kamar mandinya di tikungan belakang lukisan itu. Aku akan buatkan makanan hangat. Kau belum makan sejak sore, kan?"

"Trimakasih." Sarah meletakkan ranselnya dan pergi ke kamar mandi yang ditunjuk Noe. Ia terkejut sendiri melihat keadaannya; rambutnya berantakan dan celak matanya luntur karena tangisan. Sarah cepat-cepat mencuci muka dan menyisir rambutnya.

"Noe?" suara panggilan di luar membuatnya tekejut.

"Iya Bu, ini Noe."

"Kau pulang larut sekali."

"Noe datang sama Sarah, Bu."

Sarah keluar dari kamar mandi tepat saat ibu Noe menuruni tangga. Mereka berpapasan dan saling bertukar senyum. Noe menyalakan lampu utama untuk menerangi dapur itu.

"Jadi ini yang namanya Sarah? Cantik sekali. Noe sudah sering cerita soal Sarah."

Sarah tersipu, "Mudah-mudahan yang baik-baik."

"Oh, nggak ada yang jelek... ayo Noe, suguhkan makanan yang istimewa buat Sarah. Kamu suka apa, Nak? Noe ini diam-diam juga jago masak lho, bakat turunan dari ayahnya. Kau minta saja ingin dibuatkan apa, ya?'

"Trimakasih, Bu."

"Ibu istirahat saja lagi. ini masih malam sekali, Bu."

"Iya, nanti Ibu tidur lagi. Ibu belum sembahyang." Kata wanita pendek itu dan berlalu ke kamar mandi.

Sarah mengambil kursi di depan konter dapur, dan Noe mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas. Mereka bertukar senyum.

"Ibumu baik sekali."

"Oh.. kau belum lihat apa-apa. Ibuku adalah ibu para malaikat." Mereka tertawa, "gimana kalau kubuatkan fuyunghay?"

"Mie saja. Aku nggak suka sayuran."

"Oke, mie dengan sayuran?"

"Kan sudah kubilang aku nggak suka sayuran. Mie saja pakai telur." Sarah memberengut pura-pura dan Noe menyerah pada keinginannya.

"Kapan-kapan kukenalkan pada ayahku, kau mau?"

"Dia juga sebaik ibumu?"

"Dia galak minta ampun. Tapi sekarang dia sedang sakit, jadi kau nggak perlu khawatir bakal dimarahi."

"Oh... ayahmu sakit? Sakit apa?"

Noe mengulas senyum, sambil memecahkan dua butir telur ke dalam panci, "Ceritanya panjang sekali."

****

Motor Noe memasuki perkampungan Gelagah hampir pukul sebelas siang, dan sampai di sebuah rumah bernomor 25 tepat beberapa menit sesudahnya. Kampung itu tampak sedikit sepi, karena para penghuninya yang kebanyakan kaum pendatang sudah tentu berangkat bekerja, namun daerah sawah dan perkebunan di belakang perumahan menawarkan keriuhan suara keresak daun-daun dan semilir angin yang membawa kesejukan, sedikit mengobati kesan sepi yang ada.

Rumah di mana Noe menghentikan motornya tidak bisa dikatakan besar, namun sangat sejuk dengan halaman luas dan sebuah pohon mangga besar menaungi halamannya. Meskipun terkesan kurang terawat dan tidak berpenghuni, namun setiap sudut berandanya yang tinggi dengan bordes tangga di bawahnya terkesan kukuh dan terlindungi oleh bahan bangunan dan cat terbaik.

My  Lovely Lieutenant's  LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang