Sebelum matahari benar-benar bekerja, Irfan sudah pergi ke rumah sakit dan mengusik petugas administrasi yang baru saja duduk di mejanya.
Ia menuntut penjelasan secara rinci tentang haknya sebagi dokter untuk bisa menunjuk salah satu pasien keluarganya agar bisa mendapatkan perawatan penuh dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh angkatan darat.
Setengah jam kemudian ia duduk di meja kerjanya, mengisi formulir pengajuannya untuk mendapatkan hak tersebut bagi seseorang. Tetapi berkali-kali terhenti, dan termenung, karena ia tidak tahu siapa nama ayah Noe.
Akhirnya Irfan hanya mengisi bagian identitasnya, dan membubuhkan tanda tangan. Akan lebih tepat jika bagian yang kosong diisi oleh Noe sendiri.
Ia mendesah. Begini lebih baik. Setelah semalaman meyakinkan dirinya bahwa ia akan mampu membunuh Noe, bahwa ia mempunyai seribu satu cara untuk melakukannya tanpa ketahuan, Irfan akhirnya mantap dengan keputusan awalnya untuk menolong mereka.
Mereka... Sarah dan Noe...
Dengan begini setidaknya akan ada tiga orang yang mendapatkan happy ending. Sarah tidak akan menikah dengan seorang tentara seperti dirinya, dan akan bisa memilih kehidupan seperti yang diinginkannya. Noe akan terbebas dari lintah darat yang menjeratnya selama ini, dan ayahnya akan mendapat perawatan yang layak tanpa harus membebani siapapun.
Sementara dirinya....yah... siapa yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya? Luka hatinya berdarah dan berdenyut nyeri di dalam. Tetapi setidaknya ia tidak terluka oleh sebuah alasan konyol.
Irfan memandangi tanda tangannya di atas kertas itu. Ia sudah melakukan hal yang benar. Semoga saja. Dan semoga saja suatu hari nanti batinnya bisa benar-benar melepaskan Sarah dengan rela.
Ketukan di pintu depan yang setengah terbuka menyentaknya dari lamunan. Sosok dua orang sahabatnya berdiri dengan seragam lengkap berlatar cahaya matahari pagi.
"Hei, kalian sudah datang." Ia menyambut dengan senyuman, nyaris berdiri. Tetapi kedua sahabatnya yang kemudian masuk dengan wajah kaku membuat gerakannya terhenti.
"Ada apa? Kalian baru kembali atau mau berangkat tugas?"
"Kami baru mau berangkat. Kau punya sarapan?" lagak Pramudya yang terlalu riang saat masuk ke dapur mengisyaratkan kalau ada sesuatu yang salah.
"Ada kopi di belakang... aku baru kembali semalam, belum sempat mengisi kulkas."
Ia beralih kepada Haris yang berdiri di samping mejanya, "Kau bisa dapatkan uangnya?" tanyanya lirih, berjaga kalau Pramudya tidak tahu masalah ini.
Haris mengangkat sebuah kantong kertas yang tampaknya penuh dan meletakkannya di meja Irfan, namun masih belum melepaskan pegangannya.
"Ini baru setengahnya. Aku bisa mendapatkan sisanya besok atau lusa."
"Oh, terimakasih!" ia hendak meraih kantong itu, tetapi secepat itu pula Haris kembali menariknya dari meja.
"Kau pikir aku akan memberikan uang ini begitu saja kepadamu tanpa tahu apa yang sedang kauhadapi?! Kau anggap kami ini apa, Fan?"
Irfan tertegun melihat kilat kemarahan dalam mata Haris begitu menusuk dirinya. Ia tak pernah sekalipun melihat tatapan seperti itu dari sahabatnya sebelum ini. Setidaknya tidak pernah ditujukan kepada dirinya.
"Aku sudah bilang padamu, bukan aku yang punya masalah. Aku hanya berusaha menolong seseorang."
"Noe? Dia memerasmu?! Mengancam Sarah?!"
Irfan terbeliak. Bagaimana mungkin Haris bisa mengucapkan nama itu dengan begitu yakin di depan hidungnya?
"Dari mana kau tahu tentang Noe?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...