Sarah ingat, gadis kecil di punggung anak laki-laki itu adalah dirinya. Semuanya tampak kabur. Ia hampir tertidur di punggung anak laki-laki kecil itu, dan kilauan yang berkelap-kelip di sekeliling mereka adalah riak sungai yang dimandikan cahaya.
Samar-samar ia masih bisa mengingat hangatnya matahari siang di bantaran sungai itu, hangatnya punggung anak laki-laki di depannya, yang agak lembab basah oleh sisa air sungai di mana mereka tercebur. Ada bau matahari. Ada aroma keringatnya. Ada sisa wangi sabun mandi yang dipakainya tadi pagi.
Ia bisa mendengar suara nafas bocah laki-laki itu agak tersengal, suara jantungnya berdegup teratur.
"Jangan bilang Mak Sumi kalau kita kecebur sungai ya... nanti aku dimarahi." Suara anak laki-laki itu seperti gaung, berbisik di telinganya yang kecil.
Sarah terlalu lelah untuk menjawab, tapi permintaan itu justru mengundang kembali erangan tangisnya yang sebenarnya sudah berhenti.
"Sshhh... cuppi! Jangan nangis! Nanti kakak buatin boneka dari jerami. Yaa?"
Sarah Ismawati membuka mata, menatap langit-langit kamar asramanya yang sudah sepenuhnya terang oleh cahaya pagi dari jendela.
Mimpi itu lagi. Ia selalu bisa mengingat setiap detailnya ketika bangun, tetapi tidak pernah ingat siapa anak laki-laki yang mengendongnya itu. Cowok kecil itu hanya menyebut dirinya dengan sebutan 'kakak'
Apakah itu hanya mimpi? Atau memang pernah terjadi dalam kehidupannya? Siapa anak laki-laki itu? Sosoknya benar-benar seperti kakaknya...
"Hei! Dah bangun?" Kika, teman sekamarnya baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang kecoklatan dan panjang terurai basah, "Buruan mandi, gih! Kita harus berangkat lebih pagi, Sar. Ada tugas nampilin karya seni buat pelajaran Bahasa Inggris jam pertama nanti, ingat?"
Sarah bangkit dari tempat tidurnya dan mendehem seolah memberi jawaban. Sejujurnya ia tidak ingat, dan pikirannya tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran beberapa hari ini.
"Jadinya kamu mau nampilin apa, ntar?"
Tiba-tiba pintu terbuka, dan sesosok gadis lain dengan seragam yang telah rapi berdiri dengan senyum lebar. "Hai girls! Boleh dapat bocoran proyek kalian buat pelajaran Bahasa Inggris nanti?"
Kika mengangkat bahu sambil menyisir rambutnya, "Sarah yang belum ngasih tahu proyeknya ke kita."
"Aku belum bikin." Ia menjawab sekenanya.
"What...?!"
"Ya ampun! Marisa buat monolog petilan Hamlet dan Isfata nyiapin demo masak ala-ala chef di televisi, dan kau belum bikin apa-apa?! Unbelievable!" Rianti, teman mereka yang baru datang menjatuhkan diri di tempat tidur Kika, pura-pura pingsan.
Sarah menatap saja temannya dengan mata setengah terpejam. Cewek ini tidak tahu bagaimana ia tidak tidur sepanjang malam menunggu panggilan dari kantor ibu asrama. Kakaknya seharusnya menelpon siang kemarin, tetapi tidak ada panggilan untuknya sampai tadi malam, bahkan sampai pagi ini. Dan kalau dia tidak menelpon sampai siang ini, Sarah akan dengan senang hati menjewer telinga kakaknya itu dengan pelintiran yang sangat panjang dan lama.
Tangannya menggapai laci di sebelah tempat tidur untuk mencari kaus kaki. Ia mendesah. Sekarang bodo amat sama nilai proyek seni dan sastra untuk pelajaran Bahasa Inggrisnya. Toh selama ini dia sudah selalu menduduki peringkat pertama dalam setiap kompetisi di kelas akselerasinya. Untuk kali ini saja dia bisa mengambinghitamkan kakaknya kalau nilai proyeknya jeblok.
Sarah sudah menemukan kaus kaki kesukaannya, tetapi masih berkutat mencari pasangannya di bagian dalam laci itu saat tangannya menyentuh sesuatu. Dia terhenti, dan sepertinya matanya membelalak terkejut dengan begitu jelas karena kedua sahabatnya yang bergulingan di tempat tidur Kika memandangnya keheranan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...