Irfan melewatkan hampir satu setengah jam menempuh perjalanan dari lereng Jalan Kaliurang sampai ke Magelang dengan setengah melamun. Ia mengemudi lambat-lambat sambil tak henti meragukan keputusannya yang mendadak untuk kembali ke mess tempat tinggalnya. Rasanya meninggalkan Sarah seperti ini adalah keputusan yang salah. Tetapi ia tidak bisa memikirkan segala sesuatunya dengan jernih jika terus berada di dekat gadis itu.
Mereka berdua perlu waktu menyendiri untuk memikirkan segala sesuatunya kembali. Atau setidaknya, dirinya.
Irfan tahu pasti bahwa ia akan berangkat ke Amerika, dengan atau tanpa Sarah. Ia telah menerima surat mandat dan persetujuan beasiswanya dari kesatuan dua hari yang lalu, bersamaan dengan surat penerimaan Sarah. Mereka akan belajar di universitas yang berbeda, tetapi masih dalam negara bagian yang sama. Perjalanannya kali ini bisa menjadi bulan madu yang indah, atau juga bisa menjadi pelarian sementara untuk mengobati luka hatinya yang patah.
Memutari rumah sakit angkatan darat, mobilnya melaju dengan cepat menghindari pandangan orang-orang yang mungkin mengenalnya. Rumah sakit itu sudah sepi, kecuali di pintu depan instalasi gawat darurat. Hanya ada beberapa petugas medis dan perawat jaga yang baru memulai shift malam mereka.
Lingkungan tempat tinggal para dokter muda di bagian belakang rumah sakit itu juga sudah sepi. Bangunannya yang berderet memanjang tampak sedikit suram karena sisa hujan dan lampu-lampu taman yang menyala remang-remang.
Kakinya menapak tanpa suara di atas paving, melewati jajaran teras sempit di depan beberapa pintu kamar mess yang menjadi tetangganya. Ketika mencapai pintunya sendiri, pintu nomor empat di jajaran kamar sebelah kiri, ia meruduk mencari kunci, dan berhasil masuk tanpa seorang pun melihatnya.
Irfan menutup pintu di belakangnya, dan meraba dinding mencari saklar lampu. Matanya seketika menangkap siluet apartemen studio yang ia sebut rumah, seperti hidungnya yang mencium bau cairan pel samar dari lantai tempatnya berdiri.
Pandangan beredar sesaat menelusuri ruang tamu kecil dengan satu set sofa bergaya minimalis bersarung kulit yang sangat disukainya. Ruang itu berseberangan dengan meja kerja di mana ia biasa menghabiskan waktu saat belajar. Dinding yang membatasinya dengan ruang dalam adalah sebuah aquarium raksasa yang menjadi separuh partisi ruangan, bertumpukan dengan rak buku yang membentuk dinding sampai ke langit langit. Ada puluhan pajangan antik di rak berpernis coklat tua itu, juga ratusan buku yang menjadi koleksinya, dan tanaman-tanaman interior yang dipaksakan Bu Karti untuk mengisi beberapa ruang yang tersisa.
Irfan tersenyum kecil dan merasa sedikit lebih baik dari pada saat menempuh perjalanann tadi. Ia melempar kunci mobil ke atas meja kerja, melangkah lebih jauh ke ruang dalam; tersadar betapa ia sangat merindukan tempat ini.
Keseluruhan bangunannya sebenarnya tidak terlalu luas, hanya sekitar 12 kali 8 meter, tetapi ia berhasil membagi-bagi ruangan sehingga menjadi tempat yang sangat nyaman untuk ditinggali.
Di balik akuarium itu, ada tempat tidur, yang dirancang dan dipesannya secara khusus pada tukang kayu. Lalu menurun satu anak tangga dari areal tempat tidurnya, di sisi yang berseberangan, ia menata sebuah dapur kecil yang mampu mencukupi segala kebutuhan. Sebuah almari penyimpanan yang berderet agak panjang menutupi area kamar mandi di dinding belakang, yang berbatasan dengan sebuah taman kecil yang indah hasil karya Bu Karti.
Sebuah tangga putar juga berada di sudut belakang itu, menuju ke loteng di atas, di mana Irfan menempatkan beberapa alat olahraga dan sebuah kursi malas, tempat ia bisa menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku dan mencuci.
Irfan melepaskan sepatunya, dengan sengaja membiarkannya tergeletak di lantai saat ia melangkah ke area dapur. Kakinya bisa merasakan lantai yang kesat dan bersih. Udara juga terasa segar meski AC mati. Bu Karti memenuhi janjinya untuk datang setiap pagi; membersihkan kamar itu, membuka jendela serta pintu dan memberi makan ikan kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...