"Tidak, kita harus turun."
"Apa?"
"Ada tanah padat di bawah, tidak luas dan agak tinggi. Tapi aku tidak berani melompat, kakiku sakit sekali. Kau harus turun melewatiku, Kak. Lalu menahanku turun ke bawah."
Irfan memandang gadis itu. Ketakutan di matanya yang ia lihat tadi telah berganti dengan perhitungan penuh keyakinan dan percaya diri.
"Kau yakin?"
Sarah mengangguk, dan dengan jawaban gadis itu, Irfan melepaskan pegangannya, turun perlahan, berpegang pada akar kayu di mana tangan Sarah berada.
Di bawah mereka tidak ada pijakan sama sekali. Tetapi dari tempatnya sekarang Irfan bisa melihat tanah padat yang dimasudkan Sarah. Hanya lekukan kecil pada lereng sungai itu. Tapi tentunya cukup untuk menampung mereka berdua. Ia hanya berharap bahwa lekukan itu cukup kuat untuk menahan lompatannya, karena jika sampai longsor ke bawah juga, mereka akan tamat ditelan sungai.
"Aku akan turun duluan."
Irfan bisa melompat dengan mudah ke lekukan itu, dan tangannya masih memungkinkan untuk menjangkau kaki Sarah.
"Meluncurlah perlahan-lahan, aku akan menangkapmu."
Sarah sedikit gemetar memandang ke bawah saat ia mulai melepaskan pegangannya. Sebelah tangannya yang lain berpegang pada lumpur basah sekedar memperlambat jatuhnya. Tetapi Irfan telah menangkap kakinya lalu naik ke pinggang. Baru saat itulah ia benar-benar berani melepaskan pegangannya, dan turun ke pelukan Irfan.
Gadis itu sedikit terengah, tetapi Irfan membopongnya dengan dua tangan yang kokoh, dan menurunkannya perlahan-lahan ke tanah di mana mereka berpijak.
"Aku harus memeriksa kakimu dulu."
Ia mendudukan Sarah di tanah, dan dengan sigap seperti yang biasa dilakukannya, menaikkan pipa celana Sarah dan memeriksa pergelangan kaki kirinya. Kulit pergelangan kaki gadis itu sudah agak membiru, dan sedikit bengkak. Tangannya mencoba merasakan kalau ada bagian yang patah, tetapi Sarah justru menjerit,
"Sakit!"
"Maaf." Ia menggemeretakkan gigi khawatir. "Kau bisa menggerakkannya? Perlahan saja."
Sarah meringis, tapi ia bisa menggerakkan pergelangan kakinya tanpa menjerit kesakitan. Irfan mendenguskan nafas menahan dingin. Tangannya tidak merasakan adanya tulang yang patah, dan persendiannya masih berada di tempatnya dengan baik. Tetapi batinnya menolak semua asumsi melegakan bahwa kaki Sarah tidaklah separah kelihatannya. Masih ada kemungkinan keretakan tulang, tetapi mungkin saja hanya terkilir.
Sebentar kemudian pandangannya beredar, dan menemukana apa yang dicarinya pada sebuah batang pohon. Ia mengambil dua ranting besar dari sebuah pohon tua, dan mengikatnya di sisi kiri kanan kaki Sarah yang terluka.
"Ini akan mencegah kakimu bergerak, jadi kau tidak akan terlalu kesakitan. Aku tidak bisa memastikan bagaimana keadaannya sampai kita me-rontgen-nya di rumah sakit."
Ia membebat kaki Sarah bersama kayu-kayu itu dengan pelepah-pelepah pohon pisang yang bisa dicapai oleh jangkauan tangannya dari sekitar mereka.
****
Seperti melihat sesuatu dari masa lalu; Seseorang yang begitu kukuh dan gigih untuk menolongnya. Seseorang yang bisa menghilangkan segala ketakutannya. Sarah merasa begitu tenang. Tidak takut apapun. Tidak khawatir apapun. Ada kakak di sini; kakak yang tahu segalanya, yang selalu bisa menolongnya, yang bisa membuatkan mainan apapun, yang bisa memarahi anak-anak kampung yang mengambil bonekanya, yang bisa mengusir orang gila dari depan rumah.
Bagaimana tiba-tiba semua ingatan itu membanjir seperti air bah sungai ini? Bagaimana Sarah bisa melihat Irfan begitu mirip dengan kakak kecil yang waktu itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...