Sebuah helikopter militer besar turun di atas landasan, dan berpuluh pasukan di dalamnya menghambur keluar bahkan sebelum kaki heli itu benar-benar mendarat. Di luar lingkaran landasan, berpuluh-puluh anggota keluarga mereka telah menanti, dan pria-pria gagah berseragam itu menyongsong keluarga dan orang tua mereka yang telah begitu lama dirindukan. Begitu penuh kebahagiaan, namun juga air mata haru, dan rasa syukur yang dalam bahwa Tuhan masih memberi kesempatan bagi mereka untuk bertemu lagi.
Ini adalah gelombang terakhir pasukan yang dipulangkan setelah perpanjangan tugas, dan Irfanadalah salah satunya. Tetapi hanya dirinya yang berdiri termangu di samping heli tanpa ada seseorang di tepi lapangan untuk disongsong. Irfan mendesah, dan memilih menunggu barangnya dikeluarkan. Ia memberi instruksi kru heli untuk mengambilkan barang pribadinya terlebih dahulu, karena selain itu semuanya adalah peralatan dan perlengkapan kesehatan milik rumah sakit kesatuan.
"Hanya ini, Pak?" tanya kru heli, mengangsurkan sebuah backpack panjang dan besar kepada Irfan.
"Ya, trimakasih."
Apa lagi memangnya?! Ia bisa mengepak seluruh kehidupannya dalam sebuah ransel, bukankah itu sangat praktis?! Toh ia tidak harus menyimpan barang milik orang lain di dalam tasnya! Tidak ada orang lain dalam hidupnya! Irfan membatin dan mendongkol sendiri.
Ia mengangkat tas itu dengan dua tangan dan menaikkan ke bahunya. Ia harus cepat-cepat pergi dari landasan ini sebelum hatinya semakin perih, dan akan ada orang lain yang benar-benar menjadi korban kedongkolannya. Matanya berkitar mencari pintu keluar. Saat itulah tampak Haris dan Pramudya berdiri di gerbang masuk lapangan. Mereka melambai padanya.
Benar. Ia tidak benar-benar sendiri. Masih ada mereka. Keluarganya.
Irfan mempercepat langkahnya dan kedua sahabatnya justru berlari menyongsong, "Selamat datang, Sob."
"Selamat datang di rumah."
"Terimakasih."
Haris dan Pramudya merangkul dan menepuk punggungnya seperti kebiasaan lama mereka, membuat Irfan merasa jauh lebih baik.
"Kalian sudah kembali bertugas?"
"Belum... kami hanya datang untuk menjemputmu. Kolonel Bachtiar menyuruhmu langsung melapor padanya begitu kau tiba," jelas Pramudya
"O, ya?"
"Jadi sekarang kami akan mengantarmu ke sana," Haris menyambung.
"Tapi aku perlu pulang sebentar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian!" Irfan teringat betapa ia sangat merindukan kamar studionya di lingkungan mess rumah sakit Kesatuan Angkatan Darat.
"Itu nanti saja," kata Haris
"Perintah komandan lebih penting," tambah Pramudya.
"Kami penasaran, perintah apa yang akan beliau berikan padamu kali ini."
"Yang jelas sesuatu yang tidak berbau kemiliteran," Pramudya menimpali.
Irfan tercengang-cengang melihat kedua sahabatnya bisa bicara saling sambut seperti ini. Mereka pasti sudah berlatih sebelumnya.
****
"Jadi bagaimana keadaanmu? Kau sudah siap?" senyum lebar Pak Bakhtiar menyambutnya saat ternyata Haris dan Pramudya mengantarnya ke kediaman pribadi perwira tua itu. Mereka bertatap muka di ruang kerja Sang Kolonel, dan Irfan sedikit salah tingkah dengan suasana kelewat akrab yang begitu asing baginya.
Pak Bakhtiar mengenakan pakaian rumah; kaus longgar dan training, yang Irfan belum pernah melihatnya berpakaian demikian. Sebaliknya ia sibuk sekali melengkapi atribut seragamnya di dalam jeep Haris karena merasa akan bertemu dengan atasan, dan kemudian ia berdiri dalam sikap siap dengan seragam lengkap. Tetapi Bachtiar justru tertawa karena Irfan tampak bingung melihatnya begitu santai.
![](https://img.wattpad.com/cover/131657786-288-k195274.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...