Dia mau ujian, bagaimana ia bisa merusak mood dokter itu seperti semalam?
Sarah mengaduk kopi susu begitu pelan, dan tersesat dalam kecamuk pikirannya sendiri. Ia telah berusaha mencari pembenaran atas sikapnya semalam sejak matahari terbit tadi pagi, tetapi segala kemungkinan menempatkannya dalam posisi bersalah. Irfan yang benar; harusnya ia tidak menemui Noe lewat jendela seperti semalam, harusnya ia mengatakan pada Irfan kalau Noe datang, harusnya ia memberitahu Irfan apa yang terjadi, dia pasti bisa menolong pemuda itu, harusnya Sarah tidak mengacaukan ketenangan semalam, harusnya ia tahu lebih dari siapapun betapa ketenangan dan kestabilan emosi sangat penting saat seseorang menghadapi ujian... harusnya... harusnya... harusnya....
Sarah hanya tidur sebentar sepanjang malam dan keluar saat hari belum benar-benar terang. Ia menemukan Irfan masih menelungkup di kursi panjangnya, dan membersihkan pecahan gelas serta tumpahan susu dari lantai tanpa suara.
Tidak biasanya pria itu tidur sampai sesiang ini. Sajadahnya masih tergelar di lantai, yang berarti ia telah bangun untuk sembahyang fajar tadi.
Entah tidur sungguhan, atau pura-pura tidur, Sarah tidak berani membangunkannya. Tidak setelah pertengkaran mereka semalam. Bahkan sampai saat jam dinding kamarnya menunjuk pukul tujuh.
Ia hanya bisa mendesah gelisah, ketika mengelap tumpahan susu dari lantai. Kakaknya benar, Irfan pemuda yang baik. Ia tampan, pandai, rajin, tidak pernah meninggalkan sembahyang dan sangat tulus menjaganya. Tetapi Sarah melakukan semua hal yang sebaliknya, kadang-kadang disengaja hanya untuk menjajal sampai di mana batas kesabaran lelaki itu. Ia juga dengan sengaja membangkang dan mengabaikannya. Ia bahkan tidak bertanya jam berapa Irfan akan ujian.
Pukul tujuh lebih limabelas, Sarah bernafas lega karena terlepas dari kebimbangannya untuk membangunkan Irfan atau tidak. Alarm jam tangan pemuda itu berbunyi, dan sosoknya yang tinggi bergerak bangkit dari kursi masih dengan wajah yang sangat mengantuk.
Maka di sinilah dia kini, membuatkan sarapan pagi, sekedar untuk mengurangi rasa bersalahnya. Mungkin juga sebagai permohonan maaf, atas apa yang telah dilakukannya semalam,... dan mungkin akan dilakukannya.
Setangkup roti panggang, dan secangkir kopi susu. Sarah akan mengangsurkannya untuk diterima Irfan langsung dari tangannya. Mungkin ia juga bisa mengucapkan sesuatu yang menyemangati; Hati-hati di jalan. Semoga sukses. Jangan gugup. Ganbate! Hwaiting!
Irfan melewatkan waktu sangat singkat di kamar mandi, dan segera keluar lagi telah dengan seragamnya.
Ia menunggu beberapa saat untuk memberi kesempatan pemuda itu membenahi diri, sebelum membawa cangkir dan piring kecilnya ke ruang tamu, tanpa baki.
Irfan tengah terburu-buru mengenakan sepatu ketika ia muncul. Pemuda itu tidak mengangkat pandangan menatapnya. Ia juga tergesa-gesa melempar beberapa barang ke dalam ransel kecil, membuat Sarah ragu apakah ini saat yang tepat menyuruhnya sarapan. Sepertinya ia sangat terburu-buru.
"Sarapan dulu sebelum pergi. Tidak baik ujian dengan perut kosong." Ia maju akhirnya, mengangsurkan apa yang dibawanya sekedar agar Irfan bisa melihatnya.
Dokter itu baru saja hendak berdiri, namun gerakannya seketika terhenti melihat Sarah, dan semakin mematung lagi melihat apa yang dibawanya.
Irfan tertegun selama beberapa detik, tetapi kemudian menurunkan ransel yang sedianya akan digantung di bahu. Gerakannya sangat pelan menerima cangkir dan piring itu. Masih dengan sangat terheran-heran, ia kembali duduk. "Trimakasih."
Menyesap cangkirnya dan melirik jam tangan sebentar, ia mulai makan; bergegas, tetapi tidak tergesa-gesa. Sesekali menggangkat pandangannya dan bertemu mata dengan Sarah yang masih saja berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
عاطفية#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...