"Kujemput besok malam jam delapan, Sarah!" Kika melambaikan tangannya saat jeep mereka pergi meningalkan halaman rumah.
Sarah seperti lupa bagaimana caranya tersenyum dengan ramah, dan hanya menunggingkan bibir dengan kecut dan melambai pada mereka yang pergi. Tanpa menunggu mereka menghilang dari pandangan, ia telah berbalik memasuki rumah. Telinganya masih sempat mendengar langkah-langkah bergegas Irfan menyusulnya menaiki bordes tangga, sebelum sebuah tangan mencengkeram lengannya begitu keras hingga sakit.
"Bisa kita bicarakan sikapmu barusan?" suara Irfan menggeram tertahan. Sarah membalas tatapannya yang tajam memerah dengan tak kalah garang, sambil dengan sebuah putaran lengan, menarik lepas lengannya dari cengkeraman dokter muda itu.
"Tidak perlu!" Sarah melangkah lebar memasuki rumah
"Oh ya... perlu sekali! Kau baru saja mempermalukanku di depan teman-temanku!" Irfan mengejar, membalikkan badan Sarah mengadapinya dengan sebuah tarikan keras.
"Kau yang mulai sendiri, kan? Dengan masalah HP Noe?! Ingat?!"
"Kau tahu Sarah? Sebenarnya kalau berdua saja kita sudah lumayan akur. Tetapi setiap kali ada orang lain, kita selalu ribut; Kika! Rianti! NOE!"
"Oh... kau lupa menyebut Haris dan Pramudya sekarang?! Itu masalahmu, Kak, kau selalu curiga pada Noe. Hatimu kotor dengan prasangka! Kau cemburu!"
"Apa? Aku cemburu?! Aku tidak kenal siapa itu Noe! Aku bahkan tidak kenal kau!"
"Baik! Cuma itu persamaan kita, kita tidak saling mengenal. Jadi berhentilah mencampuri urusan masing-masing!"
Sarah mendorong Irfan lepas dari dirinya dan menerobos pintu kamarnya sendiri dengan sebuah bantingan keras pada daun itu mengikuti langkahnya. Ia bisa mendengar suara nafasnya begitu keras terengah-engah. Ia bahkan bisa mendengar suara jantungnya sendiri. Dan samar ia pun mendengar suara nafas Irfan yang penuh dengan kemarahan.
Kenapa orang ini begitu menjengkelkan? Bagaimana ia akan menghadapi pria itu selanjutnya? Bagaimana ia akan mengusir orang itu dari rumah ini? Sarah merasa dadanya begitu penuh dan hampir meledak oleh kekesalan. Tetapi kali ini ia melarang dirinya menangis.
Namun suara bantingan pintu depan yang menggelegar membuat semua pertahanannya runtuh. Sarah membekap wajahnya dengan bantal dan menangis melampiaskan kedongkolannya.
Kenapa dia tidak pergi saja? Belum cukupkah semua ini untuk membuatnya mengerti bahwa semua ini sia-sia?
ddd
Ini tidak akan berhasil..... ini tidak akan berhasil...
Irfan duduk sendirian di tangga teras dengan mata terpejam berusaha begitu keras untuk menenangkan diri. Pangkal telapak tangannya menggosok sebelah alisnya begitu keras hingga panasnya tarasa sampai ke ubun-ubun.
Bagaimana ia bisa berpikir bahwa semua ini akan berhasil? Bahwa mereka akan berakhir dengan bahagia? Sarah yang sekarang jelas bukan Sarah yang diimpikan dan diakhayalkannya. Mereka berdua telah tumbuh menjadi dua manusia yang berbeda. Semuanya sudah berubah.
Apa yang sedang dilakukannya di sini? Mengapa ia menunggu begitu lama untuk pergi? Kegilaan apa yang sedang dikhayalkannya ini?
Irfan tahu ia bisa masuk dan mengemasi barang-barangnya dalam hitungan detik. Benar-benar dalam hitungan detik. Mengangkut buku, sepatu, dan ranselnya tidak akan memakan waktu lebih dari lima detik. Ia bisa melempar semuanya ke dalam jeepnya, lalu menghilang pergi dari sini. Melupakan semuanya. Ia tidak rugi apapun. Sarah tidak rugi apapun. Gadis itu bisa memilih sendiri kehidupan macam apa yang diinginkannya. Dan ia bisa memulai kehidupannya sendiri seperti yang direncanakannya; Amerika, karier, seorang istri yang hampir sebaya dengannya, yang dewasa dan memang siap untuk mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...