#Holla Dears.... Happy Wednesday dan Happy Dating dengan Dokter Irfan yang sedang nelangsa. Titip peluk boleh kok di bagian comment. Jangan lupa vote sebelum membaca ya... thankyou#
****
Irfan benci tidak mengetahui waktu, membuatnya merasa tidak bisa mengontrol keadaan. Ia tidak bisa melihat jam tangannya karena pergelangannya terborgol ke belakang. Tidak ada lengan dari ketiga orang itu yang bisa memberitahunya jam berapa sekarang. Yang jelas sudah terlewat waktu untuk menelpon Sarah. Apa yang akan dipikirkan gadis itu jika dia tidak menelponnya? Bagaimana tiba-tiba sekarang ia bisa menjadi seperti Himawan?
Kegelisahannya baru sedikit terkurangi saat ia telah didudukkan di sebuah kantor pemeriksaan seorang oditur, di mana sebuah jam dinding besar menunjukkan waktu pukul setengah dua. Irfan tidak bisa memikirkan cara bagaimana ia akan menjelaskan hal ini kepada Sarah tanpa membuat gadis itu berang.
"Letnan Dokter Irfan Budioko?"
Irfan mengembalikan perhatiannya pada pria di hadapannya yang masih sibuk melembari berkas. Ia tidak bisa menahan gelitik aneh dalam batinnya. Sudah lama sekali ia tidak mendengar namanya disebut selengkap itu dengan pangkat dan gelarnya sekaligus. Biasanya ia hanya di panggil dengan 'Letnan', atau 'Dok', atau 'Irfan', beberapa orang yang tidak mengenalnya dengan baik memanggilnya 'Pak.' Tapi sekarang sudah dua kali ia dipanggil dengan nada formal seperti itu. Dua kali dalam hari yang sama.
"Saya."
"Anda tahu kenapa Anda berada di sini sekarang?" Laki-laki itu mungkin empat atau lima tahun lebih tua darinya, papan nama di mejanya menunjukkan pangkatnya lebih tinggi dari Irfan, namun begitu ia melewatkan segala formalitas kemiliteran dan menyuruh orang-orangnya langsung mendudukan Irfan di depannya begitu mereka tiba tadi.
"Sebuah kesalahan." Irfan menggerakkan tangannya yang mulai terasa kaku, tetapi jerat borgol itu memberitahunya lagi bahwa ia tidak mengendalikan keadaan saat ini, dan kegelisahan kecil tadi kembali merambati tulang belakangnya.
"Kesalahan Anda?" Sang oditur penyelidik menelekan lengan bawahnya di atas berkas-berkas.
"Bukan... sebuah kesalahpahaman." Irfan menelan ludah dengan susah payah, baru menyadari betapa bahunya sangat tegang. Ia bergerak melemaskannya, tetapi sudah terlanjur sakit.
"Bisa Anda jelaskan apa yang Anda anggap sebagai kesalahpahaman di sini?"
Tiba-tiba saja pintu di belakang Irfan terbuka, dan seorang lagi pria muda berseragam menyeberangi lorong-lorong sempit meja ke arah mereka, dan salah seorang pria yang mengawal Irfan sejak dari rumah sakit mengambilkan kursi lipat untuknya, menempatkannya di sisi meja, di antara Irfan dan oditur itu.
"Maaf aku terlambat. Aku ketinggalan banyak?"
"Tidak..." pria itu mendesah, menyipitkan lagi matanya yang sudah sipit, "Dokter kita baru akan menjelaskan apa yang menurutnya tengah terjadi saat ini. Dokter, perkenalkan Samsu Yudana. Dia adalah pengacara yang ditunjuk pengadilan untuk Anda."
"Oh... kami lupa menanyakan apakah Anda menginginkan pengacara untuk mendampingi Anda dalam pemeriksaan ini." Samsu mengambang di atas tempat duduknya, memandang Irfan seolah benar-benar menanti jawaban.
Irfan tidak terlalu suka dengan orang yang terlalu banyak bercanda. Dan penilaiannya sekilas, Samsu adalah tipe itu.
"Siapapun yang bisa menjelasksn apa yang sebenarnya terjadi, akan sangat saya hargai, trimakasih."
Pemuda itu kemudian mendaratkan pantatnya di kursi lipat, mulai membuka mapnya di atas pangkuan.
"Oke..., saya ingat kita sedang menunggu jawaban Dokter tadi..."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...