Noe setengah melamun mengantarkan sendok bubur itu ke mulut ayahnya yang berbaring setengah duduk di tempat tidurnya. Laki-laki tua itu tidak bisa mengatupkan mulutnya dan menelan secara instingtif. Menatap semua penderitaan orang tua itu membuat batin Noe semakin keruh. Mungkin bukan hanya masalah ayahnya saja, mungkin juga apa yang dilihatnya pagi ini berperan dalam membuat isi dadanya seperti berlubang dan mengambang.
Sarah, bersama laki-laki yang hanya malam kemarin diusirnya dengan begitu rupa, dan pagi ini mereka makan dari nampan yang sama.
"Kau bilang mereka hanya sepupu jauh?" ibunya yang menjahit lengan jaket Noe yang robek sedikit, seolah bisa membaca isi pikirannya.
Noe hanya mengatakan pada wanita itu kalau Sarah tidak ikut karena ada seorang sepupunya yang datang. Tetapi ibunya seolah telah bisa menjabarkan arti semua perkataan itu hanya dengan melihat kamus di wajahnya.
"Sepupu atau bukan, dia mungkin saja akan menghalangi rencana Noe, Bu."
Ibunya tiba-tiba tertawa kecil, "Memangnya kamu rencana apa? Mau melamar Sarah?"
Noe bimbang sejenak membayangkan sosok Irfan dan Sarah pagi tadi, "Tetapi mereka tidak kelihatan seperti sepupu jauh..."
Namun renungannya itu terputus oleh bubur yang menyembur kembali dari mulut ayahnya.
"Ayah!" Noe segera mengambil lap dan membersihkan muntahan di pakaian depan laki laki tua itu, namun kemudian tubuh kecil di ranjang itu menegang, lalu berguncang sangat keras, hingga membuat mereka berdua terkejut.
"Ayah kejang! Dokter!"
Noe meraih tombol panggil di kepala tempat tidur dan memencetnya berkali-kali sambil mengamankan tubuh ayahnya yang meronta-ronta agar tidak jatuh. Sementara ibunya hanya terpaku membekap mulut dengan mata terbelalak yang berurai air mata.
Ketika kemudian dokter dan dua orang perawat datang, laki laki tua itu sudah lebih terkendali, dan Noe serta ibunya menyingkir ke sudut ruangan, menyerahkan laki-laki yang mereka cintai ke tangan para dokter itu.
Sang ibu menenggelamkan wajahnya di dada Noe, menangis, tak sanggup lagi melihat penderitaan laki-laki yang amat dikasihinya, sementara mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Noe berdiri di belakang ibunya, menggenggam pundak wanita tua itu dua jam kemudian saat mereka berada di ruang Dokter Hendra untuk menerima keterangan tentang kondisi ayahnya. Dokter setengah baya itu menaikkan kacamatanya, memandang hasil foto rotgen yang digelar di papan neon di belakangnya, dan memandang berkas-berkas hasil pemeriksaan seolah tidak ada sesuatu yang menjadi beban pikirannya,
"Hanya kejang biasa," ucapannya datar, terdengar seperti orang yang telah menyerah dari pada orang yang bermaksud menenangkan.
"Tapi sekarang semakin sering terjadi, Dok." Noe tanpa sadar meremas bahu ibunya, membuat wanita itu menepuk tangannya membagi rasa gelisah.
"Yah... bisa apa kita, operasi adalah satu-satunya jalan keluar. Sementara itu saya akan berikan resep untuk mengurangi frekuensi kejangnya"
Dokter itu menuliskan coretan-coretan di nota resepnya dan Noe serta ibunya bertukar pandang penuh arti.
"Kapanpun kalian siap, kita bisa melaksanakan operasinya." Dokter Hendra mengangsurkan resepnya.
Bagaimana sekarang?
Noe melipat kertas resep itu dan hampir tak sanggup untuk kembali ke kamar ayahnya ketika mereka telah meninggalkan ruangan Dokter Hendra. Ibunya hanya membeku di depan jendela menatap jalanan yang riuh rendah di luar.
Kemana ia akan bisa mendapatkan uang untuk menebus resep itu? Sementara apotik rumah sakit telah menutup kesempatan mereka untuk mengambil obat terlebih dahulu karena hutang yang sudah terlalu banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...