LEE HYUNJI'S POV
Jihyun berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya yang awalnya terlihat sangat cemas langsung berubah datar, pasti dia sedang mengontrol emosinya. Aku tetap tersenyum, tetap bersikap ramah seakan-akan kami tidak memiliki masalah apapun.
Melihat Jihyun yang berjalan ke arahku, pembicaraan orang-orang makin membuatku risih saja. Aku yakin Jihyun yang sepertinya hampir tidak pernah mendapat pusat perhatian seperti ini merasa sangat tidak nyaman. Apalagi saat aku mencuri dengar dari orang-orang tentang cara berpakaian kami yang sangat kontras, walaupun wajah kami berdua sangat mirip.
Aku mengisyaratkan Jihyun untuk duduk di depanku dan ia segera menurutinya.
"Jangan hiraukan mereka," ujarku saat melihat raut ketidak nyamanan Jihyun.
Jihyun tidak menjawab. Ia mendesah pelan sebelum berkata,"Apa yang ingin kau bicarakan?"
To the point sekali.
Sepertinya Jihyun tidak senang melihatku. Ia juga tidak terlihat nyaman bersamaku. Aku merasa sangat bersalah. Jihyun sangat polos, berbanding terbalik denganku yang sangat blak-blakan dan susah menjaga emosiku. Wajah kami memang mirip, tetapi agaknya sifat kami sangat kontras.
"Kau ingin pesan apa?" tanyaku sekedar basa-basi. Aku hanya ingin menciptakan suasana yang hangat, bukan canggung seperti ini.
Jihyun menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak ingin memesan apapun. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya sekali lagi.
Aku menghela napasku. Aku mengambil salah telapak tangan Jihyun yang gadis itu taruh di atas meja, menggenggamnya. Sedari tadi Jihyun tidak henti-hentinya memainkan jari-jarinya sehingga membuatku gemas. Gadis itu terkejut dengan skinship tiba-tibaku. Ia menatapku dengan mata yang membulat lebar. Lucu sekali, aku seperti melihat cerminan diriku saat terkejut.
"Dengar. A-Aku ..."
Aku kembali menghela napasku. Tidak berani menatap matanya, kepalaku menunduk. Perasaan bersalah ini menggerogotiku. Sedangkan Jihyun masih diam, menunggu dengan sabar apa yang ingin aku katakan.
Tanpa terasa pipiku basah. Aku tidak bisa membendungnya lagi, air mataku meleleh begitu saja dari kedua mataku. Melihat aku mulai menangis, Jihyun mengeratkan genggaman tangannya. Ia terlihat sangat bingung.
"M-Maafkan aku," cicitku dengan suara yang kecil, namun Jihyun dapat mendengarnya.
Aku merasa bersalah. Hatiku perih memikirkan kembali perkataan yang aku ucapkan kepada Jihyun. Hati wanita mana yang tidak sakit jika dirinya dikatai jalang? Hati wanita mana yang tidak sakit saat dirinya dan ibunya disebut sebagai 'ular'? Aku bahkan tidak percaya kata-kata kejam itu keluar dari mulutku.
Jihyun tiba-tiba saja melepas genggamannya, membuatku tersentak dan mendongakkan kepalaku. Jihyun bangun dari tempat duduknya, beralih duduk di sebelahku. Tiba-tiba saja ia memelukku sangat erat, tanpa aba-aba, mendekapku dengan kasih sayang. Dia mengelus rambutku lembut, bagaimana layaknya seorang ibu kepada anaknya. Dari sini aku bisa merasakan sebuah kehangatan yang bisa didapat dari sebuah keluarga.
Jihyun tersenyum lembut, hangat, membuatku terenyuh.
"Aku bukan orang yang pendendam. Walaupun kita bertemu dengan keadaan yang sangat buruk, aku tidak pernah marah sampai menyimpan dendam. Aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana pun juga, kau satu-satunya keluargaku yang tersisa, aku tidak bisa marah padamu," ucapnya lembut.
Aku benar-benar tersentuh. Dia benar-benar seperti malaikat, berbanding terbalik dengan diriku yang terkadang masih sangat emosian dan kekanak-kanakkan.
Aku jadi sempat berpikir. Apakah Jimin berubah karena Jihyun? Apakah karena Jihyun yang sangat lembut bagaikan malaikat membuat Jimin begitu berubah? Jika 'iya', maka Jihyun adalah gadis yang luar biasa.
Akhir-akhir ini aku juga memerhatikan Jimin yang sudah jarang merokok dan minum alkohol. Apakah gadis ini memberikan efek yang sebegitu besarnya kepada Jimin? Aku tebak, pasti kelembutan Jimin juga bersumber pada gadis ini, pasti dia terpengaruh karena sikap lembut milik Jihyun.
Tapi kalau dipikir-pikir ulang, apakah Jimin selama ini melihat diri Jihyun selama ia bersamaku? Sikap Jimin kepadaku langsung berubah setelah dia mengenal Jihyun. Orang-orang memiliki sikap yang berbeda jika mereka dihadapkan dengan orang yang berbeda. Jika Jimin bersikap beda bersamaku sejak saat itu, apakah Jimin selalu terbayang-bayang Jihyun saat bersamaku?
"Terima kasih," ucapku. Aku memeluknya lebih erat dan ia mengelus punggungku, memberikanku efek ketenangan yang luar biasa. "Tapi, aku bukanlah satu-satunya keluargamu yang tersisa."
Jihyun langsung melepas pelukannya. Ia menatapku bingung. "Apa maksudmu?"
Aku tersenyum sumringah. "Ada ayah. Ia masih hidup, masih sehat. Ada juga ibu tiri dan half-brother ... kami."
'Kami'. Aku dan dia. Mulai sekarang, Jihyun sudah masuk dalam ruang lingkup keluargaku. Aku tidak mau menyebut namanya dengan Jo Jihyun lagi, namanya seharusnya Lee Jihyun.
Jihyun tidak mengatakan apapun, dia benar-benar speechless.
"Sejujurnya aku iri padamu karena bisa bertemu dengan ibu kandung kita, tapi sekarang ia sudah meninggal. Dan aku hanya bisa melihat dirinya lewat foto." Aku tersenyum kecut memikirkannya.
Jihyun mengguncang pundakku lembut. "Aku yakin ibu pasti sedang memerhatikan kami saat ini. Dia adalah orang yang baik dan sangat penyayang. Kalau kau bersedih sekarang, pasti dia juga bersedih."
"Jadi ... apa kau bersiap bertemu dengan ayah?"
>>----------<<
early update karena aku tahu kalian belum puas baca part sebelumnya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Switched; pjm | ✔
FanfictionSemua ini salah Jeon Jungkook yang memaksa Jo Jihyun untuk membawa seorang lelaki mabuk ke rumahnya. Seandainya kalau Jihyun menolak tawaran Jungkook, gadis itu pasti tidak akan terjebak dalam permainan cinta Park Jimin. Dan seandainya jika Jimin me...