fifty one

6.3K 837 103
                                    

JO JIHYUN/LEE JIHYUN'S POV

Dulu, saat Jimin mulai lebih sering berkunjung ke rumahku, lelaki itu sangat suka dengan teh hijau buatanku. Aku tidak tahu kenapa dia terobsesi dengan teh hijauku, padahal cara membuatnya gampang. Bahkan aku sering mengajarinya cara membuat teh hijau ala-alaku, tetapi dia selalu merengek memintaku untuk membuatkannya.

Jimin menatap mataku, tatapan matanya menyiratkan permohonan. Aku jadi tidak tega melihatnya seperti itu hanya untuk meminta teh hijau buatanku.

Aku tersenyum kecil ke arahnya. "Baiklah," ujarku.

Aku bisa melihat Jimin tersenyum lebar, setelah itu ia keluar dari mobilnya, begitu juga dengan diriku. Selama di perjalanan menuju apartemenku, suasananya masih agak canggung, dan aku sangat membenci itu. Aku bisa merasakan seperti ada pembatas di antara kita. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Jimin lagi sebentar akan terikat dengan Hyunji, tapi lelaki itu malah berkunjung ke apartemenku. Sialnya lagi, hanya ada kami berdua di sana.

Setelah masuk ke dalam apartemen kecilku, Jimin bersikap seperti biasanya. Dia bersikap seperti dulu, seakan-akan apartemen ini miliknya juga. Lelaki itu menidurkan dirinya di sofa putih ruang tamuku. Matanya terpejam, mengistirahatkan dirinya.

"Kau mau yang manis atau yang biasa?" tanyaku sembari berjalan ke dapur, membuka laci tempat aku menyimpan teh hijauku.

"Manis," ujarnya pelan, terdengar seperti gumaman.

Aku mengambil dua buah cangkir, untukku dan untuknya. Setelah menyeduh, aku segera berjalan ke ruang tamu dan meletakkan kedua buah cangkir tersebut di meja pendek depan sofa, lalu mendudukkan diriku di sofa lain, berdekatan dengan sofa yang Jimin tiduri.

Jimin tidak langsung bangun. Lelaki itu masih rebahan di sofa. Biasanya setelah aku selesai menyeduh teh hijau, lelaki itu langsung bangun dan bersemangat.

"Ji ...," panggil Jimin pelan.

Terdengar agak aneh bagiku. Mungkin karena biasanya Jimin memanggilku dengan 'Hyun'.

"Ya?"

"Maafkan aku," ucapnya dengan suara yang parau.

Aku tersenyum lembut. Bahkan sebelum Jimin meminta maaf sekali pun, aku sudah memaafkan lelaki itu. Karena semua ini adalah murni kesalah pahaman. Lagi pula Jimin tidak seratus persen salah. Aku juga salah karena terlalu terbawa perasaan.

"Aku sudah memaafkanmu, Jim."

Jimin segera membuka matanya. Lelaki itu langsung terduduk, ia menatapku tidak percaya. "Kau serius?"

"Ya. Lagi pula ini hanya kesalah pahaman. Kau tidak sepenuhnya salah. Aku juga salah karena aku tidak mengatakan yang sejujurnya padamu," ujarku.

Jimin menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ji. Ini semua salahku. Kau selalu mengusirku. Tapi aku terus mengejarmu. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku adalah orang yang egois. Jika seandainya aku—"

"Ssstt ... berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Jim. Sudah aku bilang, kau tidak sepenuhnya bersalah. Aku juga terlarut dalam arusnya. Seharusnya aku mengusirmu lebih jauh lagi, tapi sayangnya aku malah masuk ke dalam perangkapmu. Dan seharusnya aku tidak menumbuhkan perasaanku terhadapmu."

Hening. Jimin menatapku. Aku melebarkan mataku saat aku menyadari apa yang barusan aku katakan. Aku merutuki mulut bodohku ini karena telah mengatakan hal yang seharusnya tidak aku ucapkan.

"Uhm ... bukan begitu maksudku, Jim." Aku mendesis pelan, terus menyalahkan diriku karena perkataan bodohku.

Jimin memutuskan kontak matanya denganku. Lelaki itu beralih pada seduhan teh hijau  yang asapnya masih mengepul. Lelaki itu mengambil cangkir tersebut, meminumnya beberapa teguk sebelum menaruhnya dan kembali menatapku.

"Jihyun," panggil Jimin lagi.

"Ya?"

"Tolong katakan padaku bahwa aku telah melakukan keputusan yang tepat."

Aku mengernyitkan keningku. "Apa maksudmu?"

Jimin menghela napasnya. Aku bisa merasakan hembusan napasnya terasa sangat berat, penuh dengan tekanan. Jimin seperti menyembunyikan sesuatu. Dan sesuatu itu aku tidak berani bertanya. Aku hanya tidak pantas untuk mengetahui apa yang sedang dialami Jimin.

"Tolong katakan padaku bahwa aku telah melakukan sesuatu yang benar."

"Apa yang sedang kau bicarakan, Jimin?" tanyaku.

Lelaki itu menunduk, mengacak rambutnya kasar, setelah itu menutup wajahnya dengan kedua tangan kekarnya. Aku yang melihat tingkah lelaki itu langsung menjadi takut. Aku menjadi iba padanya.

Aku akhirnya memberanikan diriku untuk mendekat. Aku berjongkok di depan lelaki itu. Tanganku menyentuh pergelangan tangannya. Menarik kedua pergelangan tangan lelaki itu sehingga wajahnya terlihat. Wajahnya sangat kacau. Ia seperti sedang dihadapi banyak pikiran.

Aku meletakkan kedua tangannya di paha lelaki itu. Tanganku refleks mengelus lembut tangan Jimin menggunakan ibu jariku, menenangkan otot-ototnya yang terasa tegang. Kedua sudut bibirku terangkat, memberikan ekspresi bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja.

"Jimin," panggilku.

Jimin kemudian menatapku.

"Semuanya baik-baik saja. Apapun yang terjadi, kau telah melakukan keputusan yang tepat. Kau tidak perlu membebani dirimu sendiri. Kau hanya perlu menceritakan semua masalahmu kepada orang-orang terdekatmu. Hyunji, calon istrimu, adalah orang yang sangat bisa dipercaya. Kau harus mulai mempercayainya sehingga kau bisa mencurahkan isi hatimu dan bebanmu akan terasa lebih ringan."

Jimin menggelengkan kepalanya. "Tidak, Jihyun-ah.Tidak segampang yang kau bayangkan."

Kali ini pegangan tangan kami berbalik. Yang tadinya aku menggenggam tangan Jimin, sekarang Jimin yang menggenggam tanganku.

"Ini bukanlah sesuatu yang bisa aku bicarakan dengan mudah bersama Hyunji," lirih Jimin. Suaranya bergetar, menandakan ketakutan.

"Kalau begitu katakan padaku. Mungkin aku bisa membantumu."

Jimin tidak mengatakan apapun. Matanya terkunci padaku. Tatapannya sangat tajam, membuatku merinding.

Tiba-tiba saja, jimin menarik kedua tanganku, membuatku terbawa ke depan. Tubuhku langsung bertubrukan dengan milik Jimin dan aku bisa merasakan sesuatu menyentuh bibirku. Sesuatu yang lembab, lembut, dan sesuatu yang tidak bisa aku rasakan beberapa hari belakangan ini.

Jimin mengecup bibirku dengan lembut dan hangat. Penuh penghayatan, penuh perasaan yang sulit dijelaskan. Yang pasti ciuman ini adalah sesuatu yang bisa membuat segala akal sehatku hilang begitu saja. Jimin melakukannya sangat lembut, seakan-akan aku adalah sebuah kaca tipis yang begitu rapuh dan bisa pecah begitu saja.

Tangan kekar lelaki itu melingkar pada pinggangku posesif. Tanganku membalasnya dengan melingkarkannya di leher lelaki itu. Menikmati ciuman Jimin, menikmati bagaimana lelaki itu memperlakukanku dengan lembut.

Setelah merasa pasukan oksigen kami menipis, kami sama-sama melepas ciumannya. Selang beberapa detik kemudian, Jimin beralih mengecup pipiku, rahangku, hingga ke leherku. Hembusan napasnya yang mengenai kulitku membuat badanku meremang. Rasanya sangat hangat dan adiktif.

"Hal yang aku tidak bisa aku katakan pada Hyunji adalah ... aku sudah mulai jatuh cinta padamu, Jihyun," bisik Jimin tepat di telingaku, membuatku merinding.

"Will you be my pleasure tonight, Miss Jihyun?"





>>---------<<

Merinding gue anjer.

Next part mau dijelasin atau skip aja? Wkwkwk

Switched; pjm | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang