LEE HYUNJI'S POV
Aku terbangun. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi dan aku masih di sofa milik Jimin. Hawa dingin langsung menusuk tubuhku mengingat aku hanya memakai kaus oblong, celana pendek, dan cardigan saja.
Ruang tamu apartemen besar milik Jimin terasa hampa. Jimin sepertinya belum pulang. Biasanya saat aku menunggui Jimin di sofa, Jimin akan mematikan TV dan menggendongku yang tertidur di sofa ke kamar. Dia membungkus tubuhku ke dalam selimut dan aku bisa merasakan dia mengecup keningku sebelum dia mandi dan berganti baju.
Tetapi hari ini berbeda. Aku tertidur di sofa sampai pagi. TV masih hidup.
Aku segera bangun dan mengecek rak sepatu di depan pintu masuk apartemen. Sepatu Jimin tidak ada. Lelaki itu belum pulang.
Oh, Hyunji, berpikirlah yang positif. Jimin pasti sedang bekerja. Dia pasti sibuk di kantornya mengurus berkas-berkas miliknya dan berkas-berkas perusahaanku. Jimin juga mengatakan bahwa dia akan membantu memperbaiki perusahaanku. Pasti dia sedang sibuk Hyunji-ah. Jangan berpikir yang tidak-tidak.
Aku tersenyum. Karena dengan tersenyum bebanku terasa terangkat. Pokoknya aku harus berpikir positif, semuanya akan baik-baik saja.
Kakiku melangkah ke arah dapur. Tanganku langsung membuka kulkas untuk memikirkan sarapan apa yang harus dimasak. Jimin pasti sangat lelah dan kelaparan, aku harus memasak sesuatu untuknya.
Setelah memindai isi kulkas, aku berencana untuk membuat kimchi jjigae saja. Tidak terlalu sulit, tetapi cukup mengenyangkan. Dengan senyuman yang memenuhi wajahku dan pikiran positif yang aku paksakan untuk memenuhi kepalaku, aku mencoba untuk membuat kimchi jjigae yang dapat membuat Jimin senang. Setidaknya dia senang kan kalau calon istrinya ini memasakkan sesuatu untuknya setelah lelah bekerja semalaman?
Setelah beberapa menit memasak, dan tinggal menunggu makanannya matang, tiba-tiba saja pintu apartemen berbunyi. Jimin datang!
Dengan setengah berlari aku menghampiri Jimin yang tengah membuka sepatunya. Aku berdiri tiga langkah di depannya, menunggunya selesai melepas sepatunya. Setelah selesai, Jimin langsung berdiri tegap dan langsung menatap ke arahku.
Wajahnya datar. Keadaannya berantakan. Dasinya sudah terlepas. Dua kancing teratas kemejanya terbuka dan semuanya kusut. Jasnya ia sampirkan pundaknya. Rambutnya benar-benar berantakan.
Pikiran negatif kembali menghantui otakku. Tapi aku segera menggeleng, tersenyum dan berjalan mendekati lelaki itu. Tanganku refleks melingkar pada lehernya dan mengecup bibir tebal itu sebentar.
"Kenapa kau baru pulang sekarang, hm?" tanyaku dengan nada lembut dan terkesan manja. Jimin dari dulu sungguh menyukai saat aku berbicara dengan nada seperti ini.
Jimin tidak tersenyum sama sekali. Ini membuatku tambah bingung. Ada apa dengannya?
Raut wajahku berubah menjadi muram melihat ekspresi Jimin. Tapi beberapa detik kemudian aku kembali tersenyum, agar aku terlihat baik-baik saja.
Tanganku beralih untuk mengusap lembut bagian bawah mata Jimin menggunakan jempolku. "Kau pasti lelah, kan? Ganti bajulah terlebih dahulu. Aku sudah memasak sesuatu untukmu, makanlah dulu sebelum tidur."
Jimin hanya mengangguk. Aku melepaskan tanganku dari dirinya dan lelaki itu langsung menuju kamarnya. Bahuku langsung merosot. Yang tadinya senang karena Jimin akhirnya pulang, sekarang aku merasa bahwa sesuatu sedang tidak beres. Aku ingin menangis melihat perubahannya, tetapi itu hanya menandakan bahwa aku adalah wanita yang lemah.
Teringat dengan kimchi jjigae yang masih ku rebus, aku langsung berjalan menuju dapur dan menyajikan makanan yang telah selesai.
Tidak lama setelah aku selesai menata makanannya di atas meja makan, Jimin keluar dari kamarnya. Rambutnya masih setengah basah karena keramas. Handuk putih kecil melingkar di lehernya. Lelaki itu segera menarik kursi dan menundukkan dirinya di depanku.
Tanganku dengan cekatan menyajikan makanan kepada lelaki itu terlebih dahulu, belajar menjadi istri yang baik. Tapi Jimin tidak merespon apapun. Lelaki itu hanya diam saja dan memakan makanannya dalam diam. Tidak seperti biasanya. Mana pujian yang selalu Jimin berikan kepadaku saat ia memakan masakanku? Mana senyuman yang ia berikan padaku saat dia makan bersama di hadapanku?
Sebenarnya ada apa dengan lelaki ini?
Aku berdeham, memecah keheningan. Jimin langsung mendongak, menatap ke arahku.
"Kenapa?" tanyanya dengan nada yang terdengar malas.
"Aku yang seharusnya bertanya. Ada apa denganmu?" tanyaku. Tidak terasa tanganku sudah meremas erat sumpit yang kupegang.
"Aku baik-baik saja," jawab Jimin cuek kemudian kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.
Aku mencoba untuk tidak terbawa emosiku. Tetapi aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi dengan lelaki di depanku. "Aku tidak merasa bahwa kau baik-baik saja," ujarku sinis.
"Aku bilang aku baik-baik saja. Urusi saja urusanmu sendiri," sahut Jimin dingin.
"Jimin!" Entah kenapa suaraku meninggi. Urusi urusanku sendiri? Memangnya kita ini apa? Apakah kita orang asing? Aku calon istrimu, Jim. Kita akan menikah tiga hari lagi.
"Kenapa kau berteriak?!" bentak Jimin,membuat nyaliku segera menciut.
Aku mengatur napasku yang terasa berat. Ugh, aku benar-benar kesal sekarang. "Jimin, aku tahu kau sedang memiliki masalah sekarang. Kau bisa menceritakannya padaku jika kau tidak keberatan," ujarku pelan. Mencoba untuk tetap tenang.
"Aku bilang aku baik-baik saja. Jangan berasumsi yang tidak-tidak. Bisakah kau berhenti mencampuri urusanku?"
"Mencampuri urusanmu? Jim, ingat, kita akan menikah tiga hari lagi. Itu berarti urusanmu adalah urusanku juga. Mengerti?"
Jimin tiba-tiba saja bangun dari tempat duduknya. Lelaki itu tidak mengatakan apapun tetapi matanya berkilat kesal.
Lelaki itu melangkah menjauh. Dia keluar dari apartemen dengan pintu yang agak dibanting, membuatku terlonjak.
Air mataku tiba-tiba turun begitu saja. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Dadaku terasa sakit. Kedua lututku naik ke atas kursi dan aku menenggelamkan kepalaku di antara lututku. Rasanya sangat sakit. Lebih sakit dari pada tanganmu yang tidak sengaja teriris pisau. Aku tidak bisa menahannya lagi. Jimin sudah berubah. Dia tidak mencintaiku lagi. Aku bisa merasakannya. Sungguh. Bisakah dia tetap melihatku seperti dulu?
Tidakkah dia tahu bahwa aku masih mencintainya? Semua rasaku padanya masih sama. Tidak akan berubah sampai detik selanjutnya sekalipun.
>>----------<<
KAMU SEDANG MEMBACA
Switched; pjm | ✔
FanfictionSemua ini salah Jeon Jungkook yang memaksa Jo Jihyun untuk membawa seorang lelaki mabuk ke rumahnya. Seandainya kalau Jihyun menolak tawaran Jungkook, gadis itu pasti tidak akan terjebak dalam permainan cinta Park Jimin. Dan seandainya jika Jimin me...