11

118 19 0
                                        

"Ketika mulut dan hati tidak mampu seirama, kebohongan terlahir dari dalam jiwa."

-------------------------------

Naila menatap Rafa yang meringis kesakitan di dalam mobil, untuk pertama kalinya ia melihat sisi rapuh dari si Pangeran Es itu. Ia tak menyangka Noel tiba-tiba melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu pada Rafa.

"Masih sakit?" Tanya Naila pada Rafa, Rafa mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"Lo ngambek juga sama gue? Gue tahu Raf, Noel agak keterlaluan barusan. Tapi biasanya dia baik kok, cuma gue yakin pasti terjadi sesuatu antara kalian berdua." Ucap Naila, namun Rafa tetap bungkam.

"Raf, ngomong dong..." kata Naila megoyangkan bahu Rafa ringan.

"Nggak, gue nggak ngambek kok sama lo... gue malah mau ngucapin makasih sama lo..." kata Rafa, tangannya menggenggam tangan Naila.

Naila terdiam, kata-kata Rafa yang spontan itu membuatnya meneguk ludah. Sikap Rafa yang biasanya dingin terlihat mencair, pandangannya yang setajam elang itu kini berubah seimut anak kucing.

"Makasih buat apa?"

"Tadi, lo ngebela gue di depan Noel. Gue tahu lo suka sama Noel, dan ngebela gue di depan dia itu bisa aja ngebuat Noel jadi nggak suka sama lo. Tapi lo tetep bela gue, walau tahu semua itu pasti akan terjadi." Jawab Rafa.

Naila mengulas sebuah senyuman, "ada hal yang patut gue lakuin, dan nggak Raf..." sahut Naila.

"Gue masih punya kontrak sama lo, jadi nggak mungkin gue ngebiarin lo kayak gitu..." lanjut Naila.

Rafa mengernyit, ia kemudian melepaskan genggaman tangannya pada tangan Naila dan bergeser menuju ke dekat pintu.

"Jadi semua itu karena kontrak?" Tanya Rafa, wajahnya yang dingin kembali.

"Maksud lo?"

"Iya, lo baik ke gue cuman gara-gara kontrak aja kan?" sergah Rafa.

"Raf, maksud gue nggak kayak gitu..." ucap Naila membela diri.

"Udah, mending lo turun deh dari mobil gue. Pak Udin, berentiin mobilnya..." ucap Rafa.

Naila terpaksa turun dari mobil Rafa, ia tak berani melawan cowok yang telah berubah lebih serem dari setan itu. Mobil sedan hitam itu kemudian melesat meninggalkan Naila yang telah berdiri di trotoar. Naila menghela napas, mengapa hari ini kedua cowok, Noel dan Rafa bersikap sangat aneh? Awalnya mereka sungguh baik tapi tiba-tiba berubah menjadi sensitif.

Naila kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju halte busway yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Setelah beberapa menit berlalu, gadis itu berhasil sampai di rumahnya. Langkahnya yang gontai itu mengiringnya ke dalam kamar setelah mengucapkan salam. Naila kemudian mengganti bajunya dan menghampiri Nova, mamanya yang sedang sibuk membuatkan kue pesanan di dapur.

Sejak papanya meninggal, dapurnya yang telah disulap sedemikian rupa itulah yang menjadi sumber penghasilan mereka. Tapi untungnya Tuhan Maha Baik, usaha Nova berjalan mulus hingga ia mampu membuka tiga toko kue, dan di dapur itu ia tak sendiri. Ia bersama lima orang karyawannya yang merupakan orang-orang yang terlantar ataupun pengangguran yang memang kesusahan untuk mencari kerja.

"Halo dik..." sapa kak Mirna, ia adalah pengangguran lulusan SMK jurusan tataboga yang berkerja sebagai karyawan Nova.

"Halo juga kak..." sahut Naila sambil mengumbar senyumnya sekilas.

"Kamu kenapa, kok kelihatannya lesu banget?" Tanya Nova, ia tahu ada yang tidak beres dengan anaknya hanya dengan sekali lihat.

"Nggak ada apa-apa kok ma..." sahut Naila bohong. Nova hanya tersenyum, dan kembali fokus mengolah adonan.

"Kalau kamu lapar, tuh di ruang makan ada nasi goreng. Tadi kak Tari yang buat..." kata Nova, tanpa banyak berkata-kata Naila menuju ruang makan.

Setelah makan, Naila langsung beranjak ke kamarnya. Pikirannya masih dikacaukan oleh kejadian-kejadian barusan. Gadis itu kemudian mengambil diarynya dan untuk yang kesekian kali ia menuliskan segala hal yang dialaminya dalam buku tersebut.

Tring... tring... tring...

Bunyi nyaring yang berasal dari ponsel itu membuat Naila segera meraihnya, ia menatap layar yang mengumbarkan cahaya merasuk ke pupilnya, membuat dua pupil matanya mulai mengecil. Hampir saja Naila lupa, kalau hari ini ia harus pergi ke Da Maria Café, untuk bermain piano. Gadis itu kemudian bersiap-siap, ia mandi dan membasuh wajahnya.

Setelah berpakaian lengkap, gadis itu menatap wajahnya di cermin. Kulit seputih kapas dan bibir semerah buah strawberry itu akan ia biarkan, dan rambutnya yang biasanya dikelabang dua itu akan ia gerai. Naila kemudian menyelempangkan tasnya sebagai sentuhan akhir dari semuanya. Gadis itu kemudian keluar dari kamarnya, dan meminta izin pada mamanya. Walaupun awalnya Nova curiga, karena Naila keluar rumah tidak berpenampilan seperti biasanya.

"Udah ma, Nai bukan anak kecil lagi kok. Nai bisa jaga diri, lagian Nai cuma mau pergi ke rumah Bi Helni kok, mau ketemu sama Mita. Udah lama nggak silahturahmi..." ucap Naila bohong.

"Ya udah deh, tapi ntar pulangnya jangan lewat jam tujuh malem ya..." kata Nova.

"Iya ma... tenang aja..." sahut Naila.

***

Rasanya semakin bersalah, walaupun tujuannya baik yang namanya kebohongan tetaplah sebuah kebohongan. Tapi Naila yakin semua kebohongan yang ia ucapkan pada mamanya suatu saat harus ia ungkapkan. Naila tahu kalau mamanya hanya berusaha melupakan mendiang papanya, tapi Naila tak bisa, ia malah akan semakin sakit jika meninggalkan musik.

Dulu ia selalu takjub menyaksikan setiap pertunjukkan piano oleh papanya. Papanya itu terlihat bak bintang yang bersinar terang di langit ketika dengan lincahnya menggerakkan jari-jemari menyentuh tuts-tuts piano untuk menghasilkan nada-nada indah yang yang membelai telinga. Karena kekaguman yang teramat sangat itu membuat Naila berjanji pada dirinya bahwa suatu saat ia akan menjadi seperti ayahnya, menjadi seorang pianis terkenal.

Ketika kaki-kaki Naila menginjak lantai café terlihat Noel telah berdiri di samping grand piano, wajahnya datar. Cowok itu kemudian menghampiri Naila, dan menatapnya dalam.

"Gue kira lo nggak dateng..." ucap Noel tanpa seutas senyuman pun yang ia lontarkan, tak seperti biasanya.

"Gue nggak pernah ngingkarin perjanjian." Sahut Naila.

"Ya udah lo main gih, tapi sorry gue nggak bisa jagain lo sekarang. Gue ada urusan..." ucap Noel masih dalam rona wajah datarnya. Cowok itu kemudian beranjak meninggalkan Naila, Naila hanya mampu menghembuskan napas ia tahu Noel pasti masih marah karena kejadian barusan. Tapi untungnya cowok itu masih mau untuk sekedar membuang sepatah dua patah kata padanya.

Sesuai dengan perintah Noel, Naila kemudian memainkan piano. Kali ini ia membawakan lagu yang berjudul Heaven Knows by Rick Price yang cukup mengundang kegalauan. Namun di tengah-tengah permainan hampir saja kefokusan Naila buyar, gadis itu membelalak ketika melihat Rafa duduk di kursi yang berada tepat di depannya.

"Lagi galau ya?" Tanya Rafa, namun Naila tak menjawab dan tetap memainkan pianonya. Naila beberapa kali melirik cowok itu, tapi cowok itu hanya terfokus mengaduk minumannya.

"Gue juga lagi galau..." kata Rafa lagi sambil menoleh ke Naila, tapi Naila tetap tak menghiraukannya.

"Raf, lo ngapain sih? Apa lo bisa ngenalin gue?" Tanya Naila dalam hati, ia sangat panik tapi berusaha keras untuk menyembunyikan hal itu.

"Main yang lama, nanti gue kasih tip yang banyak..." kata Rafa, Naila menghembuskan napasnya lega. Mungkin rafa tak mengenali dirinya.

***

26 Desember 2017

Beautiful DetentionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang