01

320 37 2
                                    

"Ketika seseorang menghampiri hidupmu, Tuhan mengirimkannya karena sebuah alasan"

---------------------------------------

"Parah lo bro, berani banget lo nolak Olivia..." Deon menghampiri Rafa yang sedang duduk di kursinya sambil menepuk pundaknya ringan.

Rafa menoleh, ia menggeserkan buku fisika yang telah ia utak-atik sejak tadi. Cowok itu kemudian sedikit menggeser kursinya agar bisa melihat teman-temannya dengan nyaman.

"Kalau gue jadi lo, gue pasti mau sama dia..." ucap Arlo sambil meneguk Nescafe dari kalengnya.

"Gue nggak mau, cewek itu racun yang cuma mau jadi benalu aja." Sahut Rafa sinis.

"Lo dari dulu nggak mau deket-deket sama cewek, padahal banyak banget cewek-cewek yang suka sama lo. Apa jangan-jangan lo kelainan Raf?" Celetuk Marfi yang duduk di arah jam sepuluh.

"Sembarangan aja, gue masih normal tahu!" kata Rafa membela diri.

"Kalau normal nggak mungkinlah lo nolak Oliv sampe segitunya. Parah banget, padahal dia itu cewek tercantik di sekolah kita, pinter, jadi juara umum, ketua tim cheerleaders. Kurang apa lagi coba?" ucap Samuel ikut-ikutan nyeletuk.

"Ah lo semua kok jadi mojokin gue kayak gini sih?" Rafa cemberut, sebenarnya ini bukan kali pertama ia dibuli di gengnya, tapi hal ini benar-benar menjengkelkan.

"Gimana kalo kita buat tantangan, bentar lagi kan ulang tahun sekolah dan kepala sekolah udah ngumumin bakal bikin prom night. Kita masing-masing harus bawa pasangan dan lo juga harus bawa cewek, supaya kita semua percaya kalau lo normal." Ucap Henry setelah menelan roti cokelat yang memenuhi mulutnya.

"Eh, gue ada ide bagus. Supaya lebih gereget lo harus ngajak cewek yang pertama kali masuk ke kelas ini." Ucap Deon dengan cengiran jahil.

"Ih, nggak mau ah!" elak Rafa.

"Lo jangan nolak Raf, gue setuju banget sama Deon. Kalo lo nolak, berarti lo resmi kita cap sebagai homo!" ancam Marfi sambil terkikik geli, sementara mata Rafa melotot namun ia tak bisa berkata banyak karena ulah teman-temannya.

"Ya udah deh deal..." sahut Rafa menguatkan tekadnya, ini demi harga diri yang tidak boleh tercoreng.

Keenam cowok yang menghuni kelas itu kemudian terdiam sambil menatap pintu menantikan kehadiran seorang gadis yang akan dibawa oleh Rafa ke prom. Semuanya terdiam, mungkin kalau ada nyamuk atau lalat suaranya pasti kedengaran. Beberapa detik mereka terdiam orang-orang hanya lalu lalang di koridor. Jam istirahat begini memang jarang ada siswa yang berada di dalam kelas, apalagi di kelas XI IPA 3 yang mayoritasnya adalah anak-anak 'lompat jendela' termasuk Rafa dan Deon. Kalau Marfi dia anak kelas Bahasa 2, Arlo anak IPS 1, Samuel anak IPS 2 dan Henry anak IPA 1.

Henry menilik jam tangan bertali hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada beberapa menit lagi sebelum bel masuk berbunyi.

"Permisi, Amelnya ada?" pertanyaan lembut dengan suara cewek itu sontak membuat keenam cowok yang telah mengalihkan pandangannya menoleh.

Mata mereka semua melotot, bukan karena pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis itu. Tapi oleh penampilannya, gadis itu berdiri dengan memeluk setumpuk buku di dadanya. Rambutnya yang berwarna kekuningan diikat kelabang menjadi dua, giginya di kawat, ia juga memakai kaca mata bulat, dan di pipinya terdapat bintik-bintik kecokelatan. Sabuknya berada tepat di bawah dadanya dengan panjang rok sekitar dua puluh centi di bawah lutut.

Deon meneguk ludahnya sembari menatap Rafa sekilas yang telah terpaku dengan bola mata yang hampir keluar.

"Raf, kayaknya lo kena karma..." bisik Deon.

Beautiful DetentionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang