23

144 15 5
                                        

"Jatuh cinta pada seseorang itu, berarti kamu harus selalu memberikan kebahagiaan padanya. Walaupun kamu tahu resikonya kamu akan tersakiti."

----------------------------------------

Tak... tak... tak...

Bunyi ketukan polpen itu menggema di kamar Rafa, matanya masih tertuju pada buku tebal yang sedang ia baca. Namun entah mengapa tulisan dalam buku itu selalu saja membuatnya salah fokus setiap kali satu demi satu kata ia baca.

Larutan Buffer, materi kimia itu yang menghiasi bukunya. Biasanya mudah saja materi-materi seperti itu Rafa pahami tapi kali ini rasanya tak ada yang masuk sedikit pun. Buffer entah mengapa lebih cocok berubah jadi baper, ya seperti yang Rafa rasakan saat ini. Ia baper dengan semuanya, dengan tingkah Naila, bahkan dengan tingkahnya sendiri yang spontan.

Rafa mengacak rambutnya, rasanya sia-sia saja selama satu jam ia membaca materi itu mungkin karena pikirannya sedang tidak bisa diajak berkonsentrasi. Ia terbayang terus dengan wajah Naila, ia juga terbayang dengan wajah gadis yang tiba-tiba saja kaget karena ia cium, dan yang membuatnya lesu adalah ketika Naila tak bisa menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan tentang apakah gadis itu memiliki perasaan padanya.

Mungkinkah ini karma? Karma dari setiap orang yang menyatakan cinta padanya namun ia tolak? Mungkin iya, mungkin kali ini perasaannya tak akan terbalaskan. Itulah yang Rafa pikirkan sekarang, ia juga baru tahu ternyata seperti ini rasa sesak jatuh cinta.

"Sayang..." suara itu membuat Rafa menoleh, terlihat Maya sedang membawa secangkir susu hangat. Perempuan setengah baya itu meletakkannya di atas meja tepat di samping Rafa.

"Eh mama..." ucap Rafa menyambut mamanya dengan senyuman.

"Gimana belajarnya? Susah?" tanya Maya sambil melihat buku yang sedang anaknya baca.

"Nggak kok ma..." ucap Rafa lesu.

Maya mengernyit, perasaan seorang ibu memang selalu peka. Ia merasakan ada yang tidak beres dengan putranya. Maya kemudian duduk di ranjang sementara Rafa kemudian membalikkan kursinya.

"Cerita aja..." ucap Maya tersenyum.

"Hah mama... tahu aja kalau Rafa lagi ada masalah..." ucap Rafa mendesah, melihat reaksi putranya yang demikian membuat Maya tertawa.

"Ya iyalah, kamu kan anak mama jadi mama tahu..." sahut Maya, ia mengambil sikap untuk mendengarkan.

"Ma, jatuh cinta itu kayak gimana sih?" tanya Rafa.

Dari sekian pertanyaan yang pernah Rafa lontarkan, ini adalah pertanyaan yang membuat Maya sangat senang. Ternyata putranya di umur 18 tahun ini mulai penasaran juga tentang cinta, itu wajar, bukan hal yang terlarang. Karena sangat mulia bila ingin mengasihi orang lain, setidaknya tujuan cinta sebenarnya adalah itu. Bukan hal yang lainnya, beda lagi ceritanya kalau berpikir tentang yang lain karena itu bukanlah cinta, mungkin hanya sebuah nafsu belaka jika mengartikan cinta dari segi pandang yang lain.

"Jatuh cinta pada seseorang itu, berarti kamu harus selalu memberikan kebahagiaan padanya. Walaupun kamu tahu resikonya kamu akan tersakiti." Ucap Maya pelan.

"Tersakiti? Emangnya papa sering nyakitin mama? Kalau kayak gitu kita nggak perlu jatuh cinta, untuk apa jatuh cinta kalau ujung-ujungnya tersakiti?" tanya Rafa, ia mengerutkan keningnya masih tak puas dengan jawaban mamanya.

Maya tertawa, pemikiran Rafa terlalu mendalam. Perempuan itu mengarahkan tangannya pada kepala putranya, dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.

"Papa nggak pernah nyakitin mama, karena papa juga cinta sama mama. Mama juga gitu, makanya kami bahagia. Maksud mama gini loh, kalau kamu jatuh cinta sama orang, belum tentu kan orang itu cinta juga sama kamu, pada saat itulah kamu harus merelakan dia untuk menemukan kebahagiaannya." Jelas Maya menyentil hidung Rafa gemas.

Beautiful DetentionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang